Di Susun Oleh:
Ade Irwan Effendi (106025001043)
Lana Andriana (108025000060)
Yoke Herlyana (108025000053)
ILMU PERPUSTAKAAN
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA
PENGANTAR
Puji Serta Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.
Yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga makalah ini selesai
tepat pada waktunya.
Makalah ini di buat berdasarkan tugas mata kuliah Ulumul
Hadits. Berisi tentang Biografi sahabat perawi hadits. Semoga dengan adanya
makalah ini dapat membantu teman-teman dalam mencari informasi tentang para
sahabat perawi hadits.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Ismakun Ilyas, yang
telah membimbing kami, serta kepada pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa belum sempurnanya makalah
ini, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik serta saran dari para
pembaca
Jakarta, 07 Januari 2001
Penulis
BIOGRAFI SINGKAT
PARA IMAM PENGHIMPUN HADITS
A.
IMAM
MALIK BIN ANAS (94 – 179 H)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr bin
Harits bin Gaiman bin Kutail bin ‘Amr bin Harits Al-Ashbahi. Terkenal juga
dengan sebutan Imam Dar Al-Hijrah.[1]
Ia lahir pada tahun 94 H/712 M di kota Madinah daerah Hijaz. Dari riwayat ini,
ia adalah keturunan Arab dari dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Hamyar.
Semenjak kanak-kanak, ia terdidik
dalam suasana lingkungan yang kondusif dan mendukung. Hidup di tengah-tengah
sahabat yang cerdik dan para hukum agama, sebagai anak yang cerdas cepat
menerima pelajaran yang kuat dalam berpikir dan memiliki daya kritis yang
tinggi.
Pada saat tumbuh dewasa, ia
mengayuhkan langkahnya ke kota Madinah, guna menimba ilmu pengetahuan.
Tampaknya ia yakin bahwa sudah cukup baginya kota Madinah sebagai pusat menimba
ilmu. Oleh karena itulah, ajaran Islam lahir yang kemudian diikuti oleh para
sahabatnya dan tabiin. Banyak juga para pendatang yang menetap disana dan
berbagai kepentingan, termasuk mendalami ilmu pengetahuan Islam.
Kesungguhannya dalam menekuni agama
Islam telah menjadikan Imam Malik sebagai seorang panutan di bidang fiqh dan
hadits. Bahkan, dalam bidang fiqh, ia dikenal sebagai pendiri salah satu mazhab
fiqh, yaitu Mazhab Maliki.
Sebagai sosok ulama besar yang
memiliki pengaruh sangat luas, Imam Maliki memiliki budi pekerti yang luhur,
sopan santun, lemah lembut, mengasihi fakir miskin, dan gemar memberikan
bantuan kepada orang lain.
Mengenal sikap pribadi dan
kepandaian Imam Malik, beberapa tokoh terutama oleh An-Nasa’I mengatakan bahwa,
“Pada sisiku tidak ada orang yang lebih
pandai dari Malik. Dia orang yang mulia yang dapat dipercaya serta paling
jujur.” Bahkan, Imam Syafi’i mengatakan bahwa malik adalah hujjatullah atas makhluk-Nya sesudah
tabiin.
Setelah 60 tahun mencurahkan
tenaga, harta benda, dan pikirannya khalayak ramai tentang ilmu Islam, pada
hari Ahad tanggal 10 Rabiul Awwal 179 H/798 M, Imam Malik kembali ke rahmatullah dengan tenang, dalam usia 87
tahun.
Kitab Al-Muwaththa’ merupakan
karya monumental Imam Malik dalam bidang hadits. Tampaknya, Imam Malik
mengumpulkan banyak sekali bahan dan memilih beberapa ribu hadits yang
dituangkan dalam kitabnya tersebut. Ia selalu merivisi karya ini dan akibatnya
mengurangi jumlah isinya. Karena itu, kitab ini memliki lebih dari 80 versi.
Lima belas diantaranya lebih terkenal, dan kini hanya tinggal versi Yahya yang
bisa diperoleh dalam bentuk orisinal, lengkap, dan tercetak. Versi ini berisi
hadits Nabi, atsar sahabat, dan atsar ulama kemudian. Jumlah total
hadits yang terdapat dalam kitab Al-Muwaththa’
adalah 1.726, yang terdiri dari 600 hadits marfu’, 613 hadits mauquf,
285 hadits maqtu, dan 28 hadits mursal.
Selain Al-Muwaththa’, Imam Malik juga banyak menghasilkan karya-karya
lainnya, di antaranya Risalah ila Ibn
Wahb fi Al-Qadr, Kitab An-Nujum, Risalah fi Al-Aqdhiyah, Tafsir Gharib
Al-Quran, Risalah ila Al-Laits bin Sa’d, Risalah ila Abu Ghassan, Kitab
Al-Siyar, Kitab Al-Manasik.
Nasib kebanyakan kitab ini tidak
diketahui. Namun, Imam Malik termashyur karena mazhab pemikirannya,
kepribadiannya, keulamaan, dan kitab Al-Muwaththa’-nya.[2]
B.
AHMAD
BIN MUHAMMAD BIN HANBAL (164 – 241 H)
Imam Ahmad, (nama lengkapnya adalah
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani Al-Marwazi,
dikenal juga sebagai Imam Hambali) lahir di Marw (saat ini bernama Mary di
Turkmenistan, utara Afghanistan dan utara Iran) pada tanggal 20 Rabiul Awwal
164 H/781 M dan wafat pada tahun 241 H di kota Baghdad, Irak.
Ia telah mempelajari hadits sejak
kecil dan untuk mempelajari hadits ini, ia pernah pindah atau merantau ke Syam
(Syiria), Hijaz, Yaman, dan negara-negara lainnya sehingga ia menjadi tokoh
ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur’ah mengatakan bahwa kitab Ahmad
bin Hanbal yang sebanyak 12 buah sudah hafal di luar kepala. Ia menghafal
sampai sejuta hadits. Imam Syafi’I mengatakan tentang diri Imam Ahmad sebagai
berikut, “Setelah saya keluar dari
Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan disana yang lebih terpuji, lebih
saleh, dan lebih berilmu daripada Ahmad bin Hanbal.”[3]
Imam Ahmad bin Hanbal telah
menyusun sebuah Musnad, yang di
dalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak ditemukan oleh orang lain. Musnad
Ahmad bin Hanbal ini terdiri dari 6 jilid yang memuat tidak kurang dari 30.000
– 40.000 hadits yang telah ia seleksi dari dari 75.000 hadits.[4]
Selain Al-Musnad, Imam Ahmad juga menulis banyak kitab, di antaranya At-Tafsir, An-Nasikh wa Al-Mansukh,
At-Tarikh, Hadits Syu’bah, Al-Muqaddam wa Al-Mu’akkhar fi Al-Qur’an, Jawabah
Al-Qur’an, Al-Manasik Al-Kabir, Al-Manasik Ash-Shaghir, Al-‘Ilal, Al-Manasik,
Az-Zuhd, Al-Iman, Al-Masa’il, Al-Asyribah, Al-Fadha’il, Tha’ah Ar-Rasul,
Al-Fara’idh, Ar-Radd ala Al-Jahmiyyah.[5]
C.
IMAM
BUKHARI (194 – 256 H)
Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah
Al-Ja’fi bin Bardizbah Al-Bukhari. Ia dilahirkan bulan Syawal 194 H di negeri
Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah sehinggan lebih dikenal dengan nama Al-Bukhari.
Ia sangat alim di bidang hadits dan telah menyusun sebuah kitab yang
kesahihannya disepakati oleh umat Islam dari zaman dahulu hingga sekarang.
Bukhari
dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab Ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa
ayah Al-Bukhari dikenal sebagai orang yang wara’, dalam arti berhati-hati
terhadap hal-hal yang bersifat syubhat
(ragu-ragu) hukumnya, terlebih hal yang haram. Ia seorang ulama bermazhab
Maliki dan murid Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fiqh. Ia wafat ketika
Bukhari masih kecil.
Bukhari
berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada
usia 16 tahun, bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci, terutama Mekah
dan Madinah, untuk mengikuti kuliah dari para guru besar hadits. Pada usia 18
tahun, ia menerbitkan kitab pertama Qadhaya
Shahabah wa Tabi’in, hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin
Jarrah bin Malik. Bersama gurunya, Syekh ishaq, ia menghimpun hadits-hadits
sahih dalam satu kitab, dan dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000 rawi
disaring menjadi 7.275 hadits.
Bukhari
memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail.
Sosok Bukhari kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecokelatan, ramah,
dermawan, dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
Untuk
mengumpulkan dan menyeleksi hadits sahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16
tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para rawi hadits,
mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya,
antara lain Bashrah , Mesir, Hijaz (Mekah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai Asia
Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar
Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota itu, ia bertemu dengan 80.000 rawi.
Dari merekalah, Bukhari mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun,
tidak semua hadits yang dia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih
dahulu diseleksi dengan seleksi yang
sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut
bersambung dan apakah rawi (periwayat/pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqah (kuat). Menurut Ibnu hajar
Al-Asqalani, Bukhari menulis sebanyak 9.082 hadits dalam karya monumentalnya, Al-Jami’
Ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Di
antara guru-gurunya dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits, antara lain Ali
bin Al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf
Al-Faryabi, Makki bin Ibrahim Al-Bakhi, dan Muhammad bin Yusuf Al-Baykandi.
Selain itu, ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab shahih-nya. Banyak pula ahli hadits yang
berguru kepadanya, seperti Syeikh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmizi, Muhammad Ibn
Nasr, dan Imam Muslim.
Dalam
meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para rawi, Imam Bukhari
sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para rawi juga cukup
halus, namun tajam. Kepada rawi yang sudah jelas kebohongannya, ia berkata, “Perlu dipertimbangkan, para ulama
meninggalkannya atau para ulama berdiam diri dari hal itu.” Sementara
kepada para rawi yang haditsnya tidak jelas, ia menyatakan, “Haditsnya diingkari.” Bahkan, banyak
meninggalkan rawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata, “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan
jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan rawi, yang dalam pandangan saya
perlu dipertimbangkan.”
Banyak
ulama atau rawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan
sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang
lengkap mengenai sebuah hadits, ia berkali-kali mendatangi ulama atau rawi
meskipun berada di kota atau negeri yang jauh, seperti Baghdad, Kufah, Mesir,
Syam, Hijaz, seperti yang dikatakannya, “Saya
telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali; ke Bashrah
empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung berapa
kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama hadits.”
Di
sela-sela kesibukannya sebagai ulama dan pakar hadits, ia juga dikenal sebagai
ulama dan ahli fiqh, bahkan tidak lupa dengan kegiatan-kegiatan olahraga dan
rekreatif, seperti belajar memanah sampai mahir. Menurut suatu riwayat, Imam
Bukhari tidak pernah luput memanah, kecuali dua kali.
Kebesaran
akan keilmuan Imam Bukhari diakui dan dikagumi sampai seantero dunia Islam. Di
Naisabur, tempat asal Imam Muslim, seorang ahli hadits yang juga murid Imam
Bukhari dan menerbitkan kitab Shahih Muslim, kedatangan Imam
Bukhari pada tahun 250 H disambut meriah. Ia juga disambut oleh guru-gurunya,
Muhammad bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitab Shahih
Muslim, Imam Muslim menulis, “Ketika
Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya tidak melihat kepala daerah, para ulama,
dan warga kota memberikan sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan
kepada Imam Bukhari.” Namun, kemudian terjadi fitnah yang menyebabkan Imam
Bukahri meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di Bukhara.
Seperti
halnya di Naisabur, di Bukhara, Imam Bukhari disambut secara meriah. Namun,
ternyata fitnah kembali melanda, kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri,
Khalid bin Ahmad Az-Zihli yang akhirnya Gubernur ini menerima hukuman dari
Sultan Uzbekistan Ibn Tahir.
Tak
lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand, sebuah negeri tetangga
Uzbekistan, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Tiba di Khartand,
sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa
familinya. Namun, disana, ia jatuh sakit selama beberapa hari. Dan akhirnya
meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam
usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas shalat Dzuhur pada hari
raya Idul Fitri.[6]
Imam
Bukhari banyak menghasilkan karya-karya, sebagian telah musnah dan sebagian
lagi masih ada di tengah-tengah kita. Karya-karya Imam Bukhari di antaranya: Al-Jami’ Ash-Shahih yang dikenal sebagai
Shahih Bukhari, Al-Adab Al-Mufrad, Adh-Dhu’afa
Ash-Shaghir, At-Tarikh Ash-Shaghir, At-Tarikh Al-Ausath, At-Tarikh Al-Kabir,
At-Tafsir Al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Mazaya Shahabah wa Tabi’in, Kitab
Al-Ilal, Raf’ul Yadain fi Ash-Shalah, Birr Al-Walidain, Kitab Ad-Du’afa, Asami
Ash-Shahabah, Al-Hibah, Khalq Af’al Al-Ibad.
Di
antara karya Imam Bukhari tersebut, yang paling terkenal adalah Al-Jami’ Ash-Shahih, yang judul
lengkapnya adalah Al-Jami’ Al-Musnad
Ash-Shahih Al-Mukhtasar min Umur Rasul Allah wa Sunanih wa Ayyamih. Jumlah
hadits dalam kitab ini adalah 9.082 buah. Bila tanpa yang diulang, jumlahnya
2.602 buah. Jumalh ini tak termasuk hadits mauquf
dan ucapan para tabiin.[7]
D.
IMAM
MUSLIM (202 – 261 H)
Nama
lengkapnya adalah Al-Imam Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi
An-Naisaburi. Ia lahir pada tahun 202 H dan meninggal dunia pada sore hari Ahad
bulan Rajab tahun 261 H dan dikuburkan di Naisaburi.
Ia
juga sudah belajar hadits sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar
dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima
hadits dari Imam Muslim, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah
menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat
adalah kitab sahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun
lebih sistematis dari Shahih Bukhari.
Kedua kitab hadits sahih ini, Shahih Muslim
dan Shahih Bukhari, biasa disebut
dengan Ash-Shahihain. Kedua tokoh
hadits ini biasa disebut Asy-Syakhani
atau
Asy-Syakhaini, yang berarti dua orang tua, yang maksudnya dua tokoh
ulama ahli hadits. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja
hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.
Ia
belajar hadits sejak usia 16 tahun,yaitu mulai tahun 218 H. ia pergi ke Hijaz,
Irak, Syam, Mesir, dan negara-negara lainnya.
Di
Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray, ia
berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan; di Irak, ia berguru kepada
Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz, ia belajar kepada Sa’id bin
Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir, ia berguru kepada ‘Amr bin Sawad, Harmalah
bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits lainnya.[8]
Ia
berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits,
dan kunjungannya yang terakhir pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke
Naisabur, ia sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa
dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan
Az-Zihli, ia bergabung dengan Bukhari sehingga hal ini menjadi sebab
terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahih-nya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan
hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal Az-Zihli adalah gurunya. Hal
serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Shahih-nya, yang diterima dari Bukhari,
padahal Bukhari pun gurunya. Tampaknya menurut Muslim, yang lebih baik adalah
tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu ke dalam Shahih-nya, namun tetap mengakui mereka
sebagai guru.
Imam
Muslim wafat pada Minggu Sore dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu
daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H/5 Mei 875 M dalam usia
55 tahun.
Imam
Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya: Al-Jami’ Ash-Shahih (Shahih Muslim),
Al-Musnad Al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para rawi hadits), Al-Asma wal-Kuna, Al-Ilal, Al-Aqran, Su’alat
Ahmad bin Hanbal, Al-Intifa’ bi Uhubis-Siba’, Al-Muhadramin, Man Laisa Lahu
illa Rawin Wahid, Auladish-Shahabah, Auham Al-Muhadditsin.
Di
antara karya-karya tersebut, yang termasyhur adalah Ash-Shahih, yang judul lengkapnya adalah Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtasar min As-Sunan bi Naql Al-‘Adl ‘an
Rasul Allah. Menurut perhitungan M. Fuad ‘Abd Al-Baqi, kitab ini berisi
3.033 hadits.[9]
E.
IMAM
AN-NASA’I (215 – 303 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurahman
Ahmad ibn Syu’aib bin ‘Ali ibn Abi Bakar ibn Sinan An-Nasa’i.[10]
Ia terkenal dengan nama An-Nasa’i karena dinisbatkan dengan kota Nasa’i, salah
satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 H demikian menurut
Adz-Dzahabi, dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 H di
Palestina, kemudian dikuburkan di Baitul Maqdis.
Imam An-Nasa’i menerima hadits dari
Sa’id, Ishaq bin Rwahih, dan ulama-ulama lainnya dari kalangan tokoh ulama ahli
hadits di Khurasan, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Imam An-Nasa’I
termasuk di antara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad
haditsnya. Menurut para ulama ahli hadits, Imam An-Nasa’I lebih kuat hafalannya
dibandingkan Imam Muslim dan kitab Sunan
An-Nasa’i lebih sedikit hadits dhaif-nya
(lemah) setelah hadits Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim. Imam An-Nasa’i
pernah menetap di Mesir.
Para gurunya yang namanya harum
tercatat oleh pena sejarah, antara lain Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim,
Ishaq bin Rahawaih, Al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Daud
(penyusun Sunan Abi Daud), dan Imam
Abu Isa At-Tirmidzi (penyusun Al-Jami’ atau
Sunan At-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia
mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah Imam An-Nasa’i, antara lain Abu
Al-Qasim At-Thabrani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far At-Thahawi, Al-Hasan bin Al-Khadir As-Suyuti,
Muhammad bin Muawiyah bin Al-Ahmar An-Andalusi, Abu Nashr Al-Dalaby, dan Abu
Bakr bin Ahmad As-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid
juga tercatat sebagai ‘penyambung lidah’ Imam An-Nasa’i dalam meriwayatkan
kitab Sunan An-Nasa’i.
Sudah mafhum di kalangan peminat kajian hadits dan ilmu hadits, para Imam hadits merupakan
sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa
ketekunan inilah, para imam hadits kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak
terhingga nilainya.
Karangan-karangan Imam An-Nasa’i
yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain As-Sunan Al-Kubra, As-Sunan Al-Sughra
(kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab As-Sunan Al-Kubra),
Al-Khashais, Fadhail Ash-Shahabah, dan Al-Manasik.
Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn Al-Atsir Al-Jazairi
dalam kitabnya Jami Al-Ushul, kitab
ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut
dengan Sunan An-Nasa’i, kitab ini
dikenal dengan As-Sunan Al-Kubra.
Setelah tuntas menulis kitab ini, ia kemudian menghadiahkan kitab ini kepada
Amir Ramlah (walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian
bertanya kepada An-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadits sahih?”
Ia menjawab dengan kejujuran, “Ada yang sahih, hasan, dan ada pula yang serupa
denagnnya.”
Amir berkata kembali, “Kalau
demikian halnya, pisahkanlah hadits yang sahih-sahih saja.” Atas permintaan
Amir ini, An-Nasa’i kemudian menyeleksi dengan ketat semua haditsyang telah
tertuang dalam kitab As-Sunan Al-Kubra.
Akhirnya, ia berhasil melakukan prampingan terhadap As-Sunan Al-Kubra sehingga menjadi As-Sunan Al-Sughra. Dari segi penerimaan saja, sudah bisa dinilai
bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab pertama.
Imam An-Nasa’i sangat teliti dalam
menyeleksi hadits-hadits yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karena itu,
banyak ulama berkomentar, “Kedudukan kitab As-Sunan
Al-Sughra di bawah derajat Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di
dua kitab terakhir, sedikit sekali hadits dhaif yang terdapat di dalamnya.”
Karena hadits-hadits yang termuat dalam kitab kedua (As-Sunan Al-Sughra) merupakan hadits-hadits pilihan yang telah
diseleksi dengan ketat, kitab ini juga dinamakan Al-Mujtaba. Pengertian Al-Mujtaba
bersinonim dengan Al-Maukhtar (yang
terpilih) karena memang kitab ini berisi hadits-hadits pilihan hasil seleksi
dari kitab As-Sunan Al-Kubra.
Di samping Al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan
dengan Al-Mujtana. Pada masanya,
kitab ini terkenal dengan Al-Mujtaba,
sehingga nama As-Sunan Al-Sughra
seperti tenggelam ditelan keharuman nama Al-Mujtaba.
Dari Al-Mujtaba inilah, kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan An-Nasa’i, sebagaimana kita kenal
sekarang. Tampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan
nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kita perlu menilai jawaban Imam
An-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis ketika ia mengatakan
dengan sejujurnya bahwa hadits-hadits yang tertuang dalam kitabnya tidak
semuanya sahih, tetapi ada pula yang hasan dan ada pula yang menyerupainya. Ia
tidak mengatakan bahwa di dalamnya terdapat hadits dhaif (lemah) atau maudhu’
(palsu). Ini artinya ia tidak pernah memasukkan sebuah hadits pun yang dinilai
sebagai hadits dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangannya.
Setelah hadits-hadits yang ada di
dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah
supaya Imam An-Nasa’i hanya menuliskan hadits yang berkualitas sahih semata,
bisa diambil kesimpulan, apabila hadits hasan saja tidak dimasukkan kedalam
kitabnya, hadits yang berkualitas dhaif
atau maudhu’ tentu lebih tidak berhak
untuk disandingkan dengan hadits-hadits sahih.
Namun demikian, Ibn Al-Jauzy,
pengarang kitab Al-maudhuat
(hadits-hadits palsu), mengatakan bahwa hadits-hadits yang ada di dalam kitab As-Sunan Al-Sughra tidak semuanya
berkualitas sahih, namun ada yang maudhu’.
Ibn Al-Jauzy menemukan sepuluh hadits maudhu’
di dalamnya sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas As-Sunan Al-Sughra. Seperti yang telah
disinggung di muka, hadits itu semua sahih menurut Imam An-Nasa’i. Adapun
penilaian orang belakangan bahwa di antara hadits tersebut ada yang maudhu’ merupakan pandangan
subjektivitas penilai. Masing-masig orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam
menilai kualitas sebuah hadits. Demikian pula, kaidah yang ditawarkan Imam
An-Nasa’i dalam menilai kesahihan sebuah hadits tampaknya berbeda dengan kaidah
yang diterapkan oleh Ibn Al-Jauzy. Hal ini akan memunculkan pandangan yang
berbeda, dan merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda
akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn Al-Jauzy
terhadap keotentikan karya monumental Imam An-Nasa’i ini tampaknya mendapat
bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadits abad ke-9, yakni Imam Jalal
Ad-Din As-Suyuthi. Menurutnya, dalam Sunan
An-Nasa’i, memang terdapat hadits yang sahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja,
jumlahnya relatif sedikit. Imam As-Suyuthi tidak sampai menghasilkan kesimpulan
bahwa ada hadits maudhu’ yang termuat
dalam Sunan An-Nasa’i, sebagaimana
kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn Al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang
mengatakan bahwa hadits yang ada di dalam kitab Sunan An-Nasa’i semuanya berkualitas sahih, merupakan pandangan
yang menurut Muhammad Abu Syahbah tidak didukung oleh penelitian mendalam dan
jeli, kecuali maksud pernyataan itu bahwa sebagian besar isi kitab Sunan An-Nasa’i berkualitas sahih.
Setahun menjelang wafat, Imam
An-Nasa’i pindah dari Mesir ke Damsyik. Tampaknya, tidak konsensus ulama
tentang tempat meninggalnya. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa Imam An-Nasa’i wafat
di Mekah dan dikebumikan di antara Shafa dan Marwah. Pendapat senada
dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah Al-‘Uqbi Al-Mishri.
Sementara ulama lain, seperti Imam
Al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam An-Nasa’i meninggal
di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu
Ja’far At-Thahawi (murid An-Nasa’i), Abu Bakar Al-Naqatah. Menurut pandangan
terakhir ini, Imam An-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H/915 M dan dikebumikan
di Bait Al-Maqdis, Palestina. Inna lillah
wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat
Rasulullah guna menyebarluaskan hadits mendapatkan balasan yang setimpal di
sisi Allah.[11]
Imam An-Nasa’i menyusun banyak
karya, di antaranya As-Sunan Al-Kubra,
As-Sunan Al-Mujtaba, Kitab At-Tamyiz, Kitab Adh-Dhu’afa, Khasa’is Ali, Musnad
Ali, Musnad Malik, Manasik Al-Hajj, dan Tafsir.[12]
F.
ABU
DAWUD (202 – 275 H)
Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu
Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syihab ibn Amar bin
‘Amran Al-Azdi As-Sijistani.
Abu Dawud adalah seorang perawi
hadits yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan
4.800, di antaranya dalam kitab Sunan Abu
Dawud. Untuk mengumpulkan hadits, ia bepergian ke Saudi Arabia, Irak,
Khurasan, Mesir, Suriah, Nishabur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya
sebagai salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak beliau, yaitu Al-Asy’ats bin
Ishaq adalah seorang rawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid.
Demikian juga saudaranya, Muhammad bin Al-Asy’ats, termasuk seorang yang
menekuni dan menuntut hadits dan ilmunya, merupakan teman perjalanan Imam Abu
Dawud dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.
Imam Abu Dawud sudah berkecimpung
dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat
pada tahun 221 H, ia sudah berada di Baghdad, dan di sana, ia melayat ke
kediaman Imam Muslim, sebagaimana yang ia katakana, “Aku menyaksikan jenazahnya
dan menshalatkannya.” Walaupun telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistan,
seperti Khurasan, Baghlan, Harron, Roi, dan Naisabur, setelah Imam Abu Dawud
masuk kota Baghdad, ia diminta oleh Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq untuk tinggal
dan menetap di Bashrah, dan ia menerimanya. Akan tetapi, hal itu tidak membuat
ia berhenti dalam mencari hadits.
Kemudian, ia mengunjungi berbagai
negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Ia langsung berguru selama
bertahun-tahun. Di antara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman
bin Harb, Abu Amr Adh-Dhariri, Abu Walid Ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin
Ma’in, Abu Khaitsamah, Zuharir bin Harb, Ad-Damiri, Abu Ustman Sa’id bin
Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan ulama lainnya.
Murid-muridnya cukup banyak, antara
lain, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Abu Ubaid Al-Ajury, Abu Thayib Ahmad bin
Ibrahim Al-Baghdadi (perawi sunan Abi Dawud dari Imam Abu Dawud), Abu ‘Amr
Ahmad bin Ali Al-Bashry (rawi kitab Sunan
dari Imam Abu Dawud), Zakariya bin Yahya As-Saajy, Abu Bakr Ibnu Abi Dunya,
Ahmad bin Sulaiman An-Najjar (rawi kitab Nasikh
wal Mansukh dari Imam Abu Dawud), Muhammad bin Bakrbin Daasah At-Tammar
(rawi sunan dari Imam Abu Dawud), Abu ‘Ali Muhammad bin Ahmad Al-Lu’lu’y (rawi
sunan dari Imam Abu Dawud), Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub Al-Matutsy Al-Bashry
(rawi kitab Al-Qadar dari Imam Abu Dawud).
Imam Abu Dawud menyusun kitabnya di
Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, jadi kumpulan haditsnya berfokus murni
pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa
kesesuaiannya dengan Al-Quran, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan
kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia Muslim sebagai salah
satu kitab hadits yang paling otentik. Namun, diketahui bahwa kitab ini
mengandung beberapa hadits lemah (yang sebagian ditandai oleh Imam Abu Dawud
dan sebagian tidak).
Banyak ulama yang meriwayatkan
hadits dari Imam Abu Dawud, di antaranya Imam Tirmidzi dan Imam Nasa’i.
Al-Khataby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan
isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim. Ibnul A’raby berkata bahwa barang siapa yang sudah menguasai
Al-Quran dan kitab Sunan Abu Dawud,
dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan
bahwa kitab Sunan Abu Dawud sudah
cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.
Imam Abu Dawud adalah imam dari
imam-imam ahlusunnah wal jamaah yang
hidup di Bashrah, kota berkembangnya kelompok Qadariyah dan pemikiran Khawarij,
Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyah, serta lain-lainnya. Walaupun
demikian, ia tetap dalam keistiqamahan di atas sunnah dan membantah Qadariyah
dengan kitabnya Al-Qadar. Demikian
pula, bantahannya atas Khawarij dalam kitabnya Akhbar Al-Khawarij dan membantah pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah
disampaikan oleh Rasulullah. Tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As-Sunan yang di dalamnya terdapat
bantahan-bantahannya terhadap Jahmiyah, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Abu Dawud wafat di kota Bashrah
tanggal 16 Syawal 275 H dan dishalatkan jenazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid
Al-Haasyimy.
Selama hidupnya, Imam Dawud
menghasilkan karya-karya, di antaranya Al-Marasil,
Masa’il Al-Imam Ahmad, Al-Nasikh wa Al-Mansukh, Risalah fi Washf Kitab
As-Sunan, Al-Zuhud, Ijabat ‘an Shalawat Al-Ajurri, As’ilah ‘an Ahmad bin
Hanbal, Tasmiyat Al-Ikhwan, Kitab Al-Qadr, Al-Ba’ts wa An-Nusyur, Al-Masa’il
Al-Lati Khalafa ‘alaiha Al-Imam Ahmad, Dala’il An-Nubawwah, Fadha’il An-Anshar,
Musnad Malik, Ad-Du’a, Ibtida’ Al-Wahy, At-Tafaruud fi As-Sunan, Akhbar
Al-Khawarij, A’lam An-Nubuwwah, dan As-Sunan.[13]
G.
AT-TIRMIDZI
(209 – 279 H)
Nama lengkapnya adalah Imam
Al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami
At-Tirmidzi. Ia adalah salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang
berbagai kitab yang masyhur. Ia lahir pada 209 H di kota Tirmiz.
Kakek Abu ‘Isa At-Tirmidzi
berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmidzi dan menetap di sana. Di kota
inilah, cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecil, Abu ‘Isa sudah
gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah, ia
mengembara ke berbagai negeri, yaitu Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam perlawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama besar dan guru hadits
untuk mendengar hadits, kemudian menghafalkan dan mencatatnya dengan baik di
perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan
kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru dalam perjalanan menuju
Mekah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan
panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi, bertukar pikiran, dan mengarang,
pada akhir kehidupannya ia mendapat musibah kebutaan. Beberapa tahun lamanya,
ia hidup sebagai tunanetra. Dalam keadaan seperti inilah, akhirnya At-Tirmidzi
meninggal dunia. Ia wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8
Oktober 892 M) dalam usia 70 tahun.
Ia belajar dan meriwayatkan hadits
dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya kepada Imam Bukhari, ia mempelajari
hadits dan fiqh. Ia juga belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan,
Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya adalah Qutaibah bin
Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin ‘Abdur Rahman,
Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin
Al-Musanna, dan lain-lain.
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya
dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya adalah Makhul bin
Al-fadl, Muhammad bin Mahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai’bd bin Muhammad
An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi,
Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ darinya, dan lain-lain.
Abu ‘Isa At-Tirmidzi diakui
keahliannya oleh para ulama dalam hadits, kesalehan, dan ketakwaannya. Ia
terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti.
Salah satu bukti kekuatan dan kecepatan hafalannya adalah kisah berikut yang
dikemukakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib
At-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata, “Saya
mendengar Abu ‘Isa At-Tarmidzi berkata, ‘Pada suatu waktu dalam perjalanan
menuju Mekah, dan ketika itu aku telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits
yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu, aku
bertanya-tanya mengenai dia. Mereka menjawab bahwa dialah orang yang
kumaksudkan itu maka aku menemuinya. Aku mengira bahwa ‘dua jilid kitab’ itu
ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua
jilid lain yang mirip dengannya. Ketika aku telah bertemu dengan dia, aku
memohon kepadanya untuk mendengar hadits dan ia mengabulkan permohonanku.
Kemudian, ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu, ia
mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa
ada tulisan apapun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, ‘Tidakkah engkau malu
kepadaku?’ Lalu, aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia
bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu, aku pun
membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah
hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak’ jawabku. Kemudian, aku meminta lagi
agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Kemudian, ia membacakan 40 buah hadits
yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau gharib. Lalu ia berkata, ‘Coba
ulangi apa yang kubacakan tadi’, Lalu aku membacakannya dari pertama sampai
selesai, dan ia berkomentar, ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau’.”
Para ulama besar telah memuji dan
menyanjungnya, serta mengakui kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim
Muhammad bin Hibban, kritikus hadits, menggolongkan Tirmidzi ke dalam kelompok ‘Tsiqat’ atau orang-orang yang dapat
dipercayai dan kokoh hafalannya. Ia berkata, “Tirmidzi adalah salah seorang
ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits, dan ber-muzakarah (berdiskusi) dengan para
ulama.”
Abu Ya’la Al-Khalili dalam kitabnya
‘Ulumul Hadits menerangkan bahwa
Muhammad bin ‘Isa At-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang
baik, yang telah diakui para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh
wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama
lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam
yang menjadi panutan dan berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih merupakan bukti atas keagungan derajatnya,
keluasan hafalannya, banyak bacaannya, dan pengetahuannya tentang hadits yang
sangat mendalam.
Imam Tirmidzi, di samping dikenal
sebagai ahli dan penghafal hadits yang megetahui kelemahan-kelemahan dan
rawi-rawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang memiliki wawasan dan
pandangan luas. Barang siapa yang mempelajari kitab Jami’-nya, ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya
terhadap berbagai mahzab fiqh. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh
mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul
duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah penjelasannya
terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si
berutang yang sudah mampu, sebagai berikut, “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi
menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad,
dari Al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda, ‘Penangguhan membayar
piutang yang dilakukan oleh si berutang yang mampu adalah suatu kezaliman.
Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang
mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan
sebagai berikut, “Sebagian ahli ilmu berkata, ‘Apabila seseorang dipindahkan
piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan
itu, bebaslah orang yang memindahkan (muhil)
itu, dan orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal)
tidak dibolehkan menuntut kepada ‘muhil.
Dictum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang
lain berkata, ‘Apabila harta seseorang (muhtal)
menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal
‘alaih, baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).’ Mereka memakai alasan dengan
perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan, ‘Tidak ada kerugian atas harta
benda seorang Muslim.’ Menurut Ishaq, perkataan ‘Tidak ada kerugian atas harta
benda seorang Muslim’ ini adalah, ‘Apabila seseorang dipindahkan piutangnya
kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang itu tidak mampu,
tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya)
itu’.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan
kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dlaam memahami
nash-nash hadits, serta betapa luas dan orisinil pandangannya itu.[14]
Imam Tirmidzi banyak menuis kitab,
di antaranya Al-Jami’ Al-Mukhtasar min
As-Sunan ‘an Rasul Allah, terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi, Tawarikh, Al-‘Ilal, At-Tarikh, Al-‘Ilal Al-Kabir,
Asy-Syama’il An-Nabawiyyah, Az-Zuhd, Asma’ Ash-Shahabah, Al-Asma’ wal-Kunya,
Al-Atsar Al-Mauqufah. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar, dan
terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.[15]
H.
IBN
MAJAH (207 – 273 H)
Ibnu Majah adalah nama nenek moyang
yang berasal dari kota Qazwin, salah satu kota di Iran. Nama lengkap imam
hadits yang terkenal dengan sebutan neneknya ini adalah Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Yazid Ar-Raba’i Al-Qazwini Ibnu Majah. Ia dilahirkan di Qazwin pada tahun
207 H (824 M). Ia wafat hari selasa, bulan Ramadhan, tahun 273 H (887 M).
Sebagaimana halnya para Muhaditsin
yang dalam mencari hadits-hadits memerlukan perantauan ilmiah, ia pun
berkeliling di beberapa negeri untuk menemui dan berguru hadits kepada para
ulama hadits.
Dari tempat perantauannya itu, ia
bertemu dengan murid-murid Imam Malik, dan Al-Laits, dan dari merekalah, ia
banyak memperoleh hadits. Hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh orang
banyak.
Ibnu Majah menyusun kitab Sunan yang kemudian terkenal dengan nama
Sunan Ibnu Majah. Sunan ini merupakan
salah satu sunan yang keempat. Dalam Sunan ini banyak terdapat hadits dhaif, bahkan tidak sedikit hadits yang
munkar.
Al-Hafidh Al-Muzy berpendapat bahwa
hadits-hadits gharib yang terdapat dalam
Sunan ini adalah dhaif. Karena itulah, para ulama mutaqaddimin memandang bahwa
kitab Muwaththa Imam Malik menduduki
pokok kelima, bukan Sunan Ibnu Majah.
Selama hidupnya, Ibnu Majah banyak
menghasilkan karya, di antaranya Tafsir
Al-Quran Al-Karim, At-Tarikh, dan Sunan
Ibnu Majah.[16][]
DAFTAR PUSTAKA
Azami,
Muhammad Mustofa, 1992. Metodologi Kririk Hadits. Terj.
A. Yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Soetari,
Endang, 2005. Ilmu Hadis : Kajian Diriwayah dan Diriyah.
Bandung: Mimbar Pustaka.
Solahudin, Muhammad; Agus
Suyadi, 2009. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia.
[1] Endang Soetari. Ilmu Hadits:
Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. hlm. 281.
[2] M.M. Azami. Studies in Hadith
Methodology and Literature. Terj. Meth Kieraha. Jakarta: Penerbit Lentera.
2003. hlm. 143-144.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Imam_Hanbal
[4] Soetari. hlm. 301.
[5] Azami. Op.cit. hlm.
149-150.
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Bukhari
[7] Azami. Op.cit. hlm.
155-156.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Muslim
[9] M.M. Azami. hlm. 165-166.
[10] Soetari. Op.cit. hlm.
313.
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Nasa’i
[12] Azami. op.cit. hlm. 168.
[13] Azami. op.cit. hlm.
171-172.
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Tirmidzi
[15] Azami. op.cit. hlm.
175-176.
[16] Soetari. op.cit. hlm.
316.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar