[*]TEMU KEMBALI INFORMASI DARI SUDUT PANDANG
PENDEKATAN BERORIENTASI
PEMAKAI*)
OLEH:
SRI ATI SUWANTO**)
ABSTRACT
User oriented approach is a systematic
study of users’ characteristics and behaviours to find information concerning
its interaction with information systems (instutions). Basically there are
three approaches to the study of information retrival processes, namely
traditional approach, user oriented,
and cognitif approach.
The user-oriented approach to
information retrieval research provides information retrieval theory with a
substantial insight into users’ mental behaviour and information seeking
characteristics. This approach focusses
itself on the psychological and behavioral aspects of the communication between
users and authors. This approach aims at
the improvement of information retrieval effectiveness within the
framework of the users, their information need, and the interactive processes
of searching behaviour. But, this interaction process still could not solve the
users’ problems. This is caused by the interation between information retrieval technique using
matching system and clossed questions.
In order to get more evidence about users problems or
information need, further questions or feedback from the user in order to know
whether intermediary interpretation match with the user’s or not are needed.
The user oriented approach is still connected to
information systems so that it is considered to have the same shortcoming as
the traditional approach is. This reason caused the cognitive approach to
appear.
1. Pendahuluan
Studi tentang
pemakai merupakan kajian
secara sistematis terhadap karakteristik dan perilaku pemakai
informasi berkenaan dengan interaksinya dengan sistem informasi (Suyanto, 1993:
57 – 64). Menurut White (1993),
sebuah kajian bisa dinamakan kajian
pemakai bila kajian tersebut
merupakan kajian yang tidak
terfokus pada apa yang dikerjakan
perpustakaan tetapi pada apa yang
dikerjakan oleh orang-orang
bila mereka membutuhkan
informasi. Dari pernyataan White
ini maka tersirat makna bahwa
kajian pemakai adalah kajian tentang orang yang membutuhkan
informasi. Lingkup kajian pemakai bukan hanya berada di perpustakaan tetapi
juga di luar perpustakaan.
Jika dilihat
dari kenyataan yang ada, belum tentu
semua orang yang membutuhkan
informasi akan memakai
perpustakaan. Powell (1994: 21-
34), menggunakan dua istilah
untuk mengkaji pemakai, yaitu House
survey of users
bagi pemakai yang
menjadi anggota suatu
perpustakaan, dan Community
analysis untuk pemakai baik
yang menjadi anggota
maupun bukan anggota
perpustakaan. Dengan demikian
maka jika dilihat dari ruang lingkupnya, kajian
pemakai termasuk Community
Analysis.
Kajian pemakai
timbul akibat adanya perubahan cara memandang informasi, yaitu
dengan munculnya paradigma
kognitif yang berlawanan
dengan paradigma fisik. Paradigma
fisik memandang informasi sebagai
sesuatu yang objektif, berada di luar
manusia, dan dapat disentuh.
Sedangkan paradigma kognitif
memandang informasi sebagai sesuatu yang subyektif, individual,
dan tidak dapat disentuh ( Dervin: 1983).
Karena perubahan
cara memandang informasi
tersebut, maka pandangan
dalam temu kembali informasi berubah
pula. Pandangan tersebut berubah dari temu kembali dengan
pendekatan fisik (yang menurut Ingwersen disebut pendekatan
tradisional) menjadi temu kembali dengan pendekatan pemakai. Dalam
perkembangannya kemudian menjadi temu
kembali dengan pendekatan kognitif.
Untuk mengetahui
gambaran secara menyeluruh
tentang temu kembali informasi
dengan pendekatan pemakai, sebelum
itu akan diulas hakekat temu
kembali informasi.
2. Temu kembali informasi
Kajian-kajian yang
mempelajari informasi termasuk dalam cakupan Ilmu Informasi. Inti dari kajian-kajian bidang Ilmu
Informasi adalah temu kembali
informasi (Jarvelin dan Vakary, 1992).
Menurut Belkin (1985) titik
perhatian atau fokus dalam kajian tentang temu kembali informasi
ada lima , yaitu :
1. Perpindahan informasi dalam sistem
komunikasi;
2.
Pemikiran tentang informasi yang diinginkan;.
3. Efektifitas sistem dan perpindahan
informasi;
4. Hubungan antara informasi dengan
penciptanya;
5. Hubungan antara informasi dengan pemakai;
Tujuannya
adalah untuk mempelajari proses
temu kembali, membentuk, membangun dan mengevaluasi sistem temu kembali
yang dapat memberikan informasi
yang diinginkan secara efektif
antara pengarang dan pemakai.
Secara
tradisional, pada umumnya informasi bentuknya teks. Hal ini
menggambarkan bahwa temu kembali informasi sama dengan temu kembali
dokumen, tanpa mempertimbangkan
apakah itu teks, atau non-teks. Sejalan dengan pandangan terhadap informasi tersebut, maka temu
kembali informasi dengan
pendekatan tradisional
difokuskan pada dokumen. Isi pendekatan ini
adalah bagaimana menempatkan dokumen dengan cara yang tepat. Sedang
temu kembali berorientasi pemakai
difokuskan pada aspek-aspek perilaku
dan psikologi komunikasi
informasi antara pengarang dan pemakai
Dalam
perkembangan terakhir, lahan temu kembali informasi telah diperluas ke multimedia yang berhubungan dengan
penyimpanan dan temu kembali bahan-bahan grafis, pita suara,
komponen-komponen perangkat lunak, dan dokumen kantor.
Masalah utama
dalam temu kembali secara umum adalah menemukan
informasi baik dalam bentuk teks
maupun non-teks. Temu kembali
informasi tersebut diharapkan
dapat memuaskan pemakai terhadap
permasalahan kebutuhan informasi
mereka. Interaksi akan terjadi antara
pustakawan dan pemakai
untuk menjawab permasalahan pemakai. Permasalah-permasalah mereka menurut
Ingwersen (1992: 61-93) disebut aboutness, dan
dua konsep dasar lain yang penting dalam semua proses
temu kembali yaitu Representation,
dan Relevance.
Aboutness
maksudnya untuk
menjawab tentang apa dokumen tersebut. Aboutness ada tiga macam,
yaitu indexer aboutness, author aboutness, dan user aboutness. Maksud dari aboutness itu sendiri adalah untuk menjawab tentang apa
dokumen tersebut (What is this document about). Representation adalah wakil dari dokumen, yang bisa berupa katalog atau
indeks. Sedangkan Relevance
adalah tingkat keterkaitan dan kegunaan suatu teks terhadap suatu permintaan.
Dalam konteks temu kembali
informasi, relevance adalah hubungan
antara suatu dokumen dan kebutuhan pemakai yang
berguna bagi pemakai tersebut.
Faktor utama
yang digunakan untuk
mengukur relevansi suatu
dokumen terhadap kebutuhan pemakai adalah “Topik” atau
“Subjek” dokumen tersebut. Yang
dimaksud topik suatu dokumen atau teks adalah tentang apa yang ditulis
pengarang dokumen tersebut. Apakah dokumen tersebut relevan tidak dengan
pertanyaan pemakai dapat dilihat dari topik dokumen tersebut.
Pola umum relevance menurut
Saracevic (1995: 6-48) sebagai berikut: "Relevance adalah A
dari B, yang berada di antara C dan D,
seperti yang dimaksudkan oleh
E". Yang dimaksud
dengan A adalah
hubungan, B adalah kecocokan
atau ketepatan, C
adalah dokumen, D adalah pertanyaan, dan E adalah
perumusan seseorang, misalnya ahli informasi atau pustakawan.
Pola tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gambar
1
|
|
|
|
|
-----à
Dengan demikian
relevance adalah ukuran
ketepatan yang dilakukan untuk merumuskan apakah suatu dokumen
cocok dengan pertanyaan
pemakai. Rumusan tersebut
dilakukan oleh ahli
informasi atau perantara.
Dengan demikian apa
yang menurut pustakawan
cocok belum tentu benar-benar cocok menurut pemakai. Konsep-konsep Aboutness, Representation, dan Relevance tersebut digunakan dalam teknik-teknik temu kembali
baik dengan pendekatan tradisional, pendekatan
pemakai, maupun pendekatan
kognitif, dengan sedikit perbedaan.
3. Pendekatan Tradisional
Temu
kembali dengan pendekatan tradisional menurut
Ingwersen (1992, 61 – 93), telah
diakui memiliki teori yang potensial. Teori tersebut antara lain teori
klasifikasi berfaset PMEST (Personality, Matter, Energy, Space, Time) yang
dikemukakan oleh Ranganatan pada tahun
1952. Teori PMEST
tersebut yaitu teori untuk
mencari topik makalah
berdasarkan judul dengan urutan
yang diutamakan unsur
Personalitity, Matter,
dan seterusna. Teori
tersebut telah digunakan
sebagai salah satu sarana
dasar dalam temu
kembali informasi dengan berdasarkan pengetahuan (knowledge based) atau
kognisi (Ingwersen, 1992: 64-80). Hal ini merupakan manfaat yang
dapat diperoleh dalam temu kembali dengan pendekatan tradisional.
Inti dari pendekatan tradisional atau pendekatan
berorientasi sistem adalah teori Shanon
dan Weaver. Mereka melihat
informasi sebagai sesuatu
yang objektif, eksternal dan berada
di luar individu.
Informasi merupakan pesan
yang disampaikan seseorang kepada orang lain melalui suatu
saluran. Informasi
ada dalam keadaan yang teratur, dapat didefinisikan secara jelas, dan dapat diukur10. Saluran tersebut menurut
Ingwersen disebut Intermediary atau perantara.
Kajian temu kembali dengan pendekatan
tradisional tersebut bertujuan untuk
mempelajari teori-teori
pengindeksan, teknik-teknik temu
kembali, serta mekanisme
komponen-komponen sistem
dalam lembaga informasi.
Tekanannya pada hasil temu
kembali dengan ketepatan yang tinggi. Untuk mencapainya
dilakukan usaha dengan membandingkan berbagai teknik dan
teori-teori temu kembali informasi.
Temu kembali dengan pendekatan tradisional
ini menggunakan konsep
Aboutness dan relevance. Konsep aboutness yang digunakan
dalam pendekatan tradisional
ada dua macam,
yaitu author aboutness, dan indexer
aboutness. Sedang "aboutnes" pemakai, yaitu jawaban
atas pertanyaan tentang
apa dokumen tersebut
menurut pemakai, tidak diperhatikan.
Dalam temu kembali dengan pendekatan tradisional,
relevansi suatu dokumen
terdiri dari satu
hubungan tunggal, yaitu mencocokan topik
subjeknya. Sedangkan temu
kembali dengan pendekatan-pendekatan lainnya,
semua bagian dari
pertanyaan penelusuran harus
cocok dengan deskripsi dokumen tersebut (Saracevic, 1995: 646 – 653). Oleh karena
itu, para peneliti banyak yang
menyatakan bahwa temu
kembali dengan pendekatan
tradisional mempunyai keterbatasan-keterbatasan atau
kelemahan-kelemahan khususnya
tentang perumusan pertanyaan
atau permintaan pemakai
(user aboutness) (Ingwersen,
1992: 60 ).
Kelemahan-kelemahan
penting dari pendekatan
tradisional adalah:
1) Konsep
meaning dan informasi kurang akurat.
2) Makna
aboutness dari pengarang dan pemakai berbeda.
3) Penggunaan
makna informasi pada
dokumen kurang tepat.
Sebagai contoh, metode-metode yang
diterapkan pada analisa teks dan
teknik-teknik temu kembali
informasi digunakan untuk
merumuskan dan menjawab
pertanyaan pemakai. Perumusan tersebut
dilakukan oleh perantara. Hasil rumusan perantara ini belum tentu cocok
dengan rumusan pemakai; Dengan kata lain user aboutness berbeda
dengan indexer aboutness. Hal ini
disebabkan karena rumusan
suatu dokumen hanya didasarkan
pada data bibliografi
saja, seperti judul
dan abstrak. Bagian-bagian dari
dokumen tersebut yang mungkin
relevan tidak digunakan. Dengan demikian
konsep informasi dari dokumen yang dirumuskan oleh
pengindeks kurang akurat.
Hal ini
menunjukkan bahwa pustakawan
memerlukan pertanyaan pertanyaan
lebih lanjut. Pertanyaan tersebut
misalnya dengan logika Boolean,
atau dengan istilah-istilah yang serupa.
Dengan teknik ini mungkin pertanyaan pemakai dapat dimengerti. Meskipun demikian belum
tentu menggambarkan arti
dari permasalahan pemakai,
karena interaksi dengan pemakai
tidak diperhatikan. Informasi
aktual yang ada
dalam pikiran pemakai
tidak diperhatikan. Oleh
karena itu, beberapa teks yang
sebenarnya relevan yang
ada di lembaga informasi
tersebut mungkin tidak
diketahui atau tidak dapat digunakan untuk menjawab
pertanyaan pemakai.
Setelah melihat kekurangan-kekurangan pendekatan
tradisional, maka timbul pertanyaan: Apakah temu kembali dengan
pendekatan berorientasi
pemakai lebih bisa
memenuhi kebutuhan pemakai ? Bagaimanakah temu
kembali informasi dengan
menggunakan pendekatan kepada
pemakai itu? Apakah beda temu
kembali dengan pendekatan
tradisionil dibanding temu kembali dengan pendekatan
pemakai ?
4. Pendekatan Berorientasi
Pemakai
Dari hasil-hasil pengamatan terhadap
pendekatan tradisional yang dianggap mempunyai
banyak kekurangan, para
ahli mulai menggunakan pendekatan berorientasi pemakai dalam temu
kembali informasi.
Seperti telah
disebut di atas, temu kembali
informasi dengan pendekatan pemakai
menitikberatkan kajiannya
pada aspek-aspek perilaku dan
psikologi komunikasi informasi
yang diinginkan antara pengarang dan pemakai informasi.
Kajian berorientasi pemakai ini bertujuan untuk
mengembangkan efektifitas temu kembali
dalam kerangka pemikiran
pemakai, kebutuhan informasinya, dan
proses interaksi temu
kembali informasi.
Secara rinci
maka ciri-ciri temu kembali
informasi dengan pendekatan
pemakai adalah sebagai berikut (Ingwersen, 1988: 80):
1.
Tujuan dan fokus :
Mengkaji penulisan masalah-masalah informasi, dan perilaku
pencarian informasi. Fokusnya pada proses pemecahan masalah
pemakai dan perantara selama temu
kembali, khususnya yang
berhubungan dengan perkemba-ngan
kajian-kajian tentang
kebutuhan informasi. Di
samping itu juga agar dapat meningkatkan efektifitas temu kembali.
2. Hasil
:
Suatu interaksi temu kembali informasi yang dinamis
dan kompleks. Temu kembali informasi dianggap sebagai
suatu proses interaksi pemecahan
masalah dan berorientasi pada tujuan.
Keterlibatan sistem (lembaga
informasi) hanya sedikit.
Pemakai bisa terdiri
dari, beberapa kelompok masyarakat, seperti
ilmuwan, anak-anak, orang
awam, dan seringkali orang
yang dengan kebutuhan
dan permintaan informasi yang belum jelas.
3.
Pengertian informasi
Informasi diartikan dalam suatu konteks yang luas, termasuk
hal-hal non-ilmiah. Informasi
dianggap memainkan peranan penting dalam
perpindahan informasi dan
komunikasi di segala lapisan
masyarakat.
4. Penggunaan disiplin
ilmu pendukung:
Ilmu-ilmu kognitif dan sosiologi
digunakan sebagai disiplin ilmu pendukung dasar. Psikologi kognitif dan psiko-linguistik diterapkan pada
perilaku antara pemakai dan perantara,
dan untuk mengerti formulasi atau rumusan permintaan.
Dari ciri-ciri tersebut di atas, maka terlihat bahwa
dalam temu kembali dengan
pendekatan pemakai penyajian
masalah informasi memegang
peranan penting. Perantara
menaruh perhatian terhadap
kebutuhan pemakai dan bisa mendapat jalan yang terbaik untuk mengambil intisari
informasi yang akurat dan
potensial. Dengan kata lain,
dalam pendekatan ini "aboutnes" pemakai telah mulai diperhatikan.
Pada umumnya temu kembali dengan pendekatan pemakai
masih mencocokkan relevansi
dokumen dengan permintaan
pemakai berdasarkan
topiknya. Meskipun demikian,
sebenarnya banyak faktor-faktor lain yang dianggap penting dan mempunyai dampak persepsi pemakai tentang relevansi
suatu dokumen. Faktor faktor
tersebut menurut Barry (1994) ada duapuluh tiga, antara
lain: kemutakhiran dokumen, kualitas sumber, eksistensi
pengarang, dan lain-lain.
Dalam temu kembali
dengan pendekatan pemakai, ada satu hal yang
perlu ditekankan. Menurut Belkin (Ingwersen, 1988: 88), meskipun pendekatan ini dipengaruhi oleh pandangan kognitif, dan
banyak penemuan-penemuannya, serta
proses temu kembalinya yang
berdasarkan pandangan
kognitif, tidak berarti
pendekatan ini secara otomatis termasuk
pendekatan kognitif. Hal
ini disebabkan karena tujuan
kajian dalam temu kembali
dengan pendekatan pemakai menghilangkan
beberapa komponen sistem.
Komponen-komponen tersebut antara lain faktor-faktor sebelum
pemakai melakukan pencarian informasi,
antara lain: pengetahuan
pemakai, situasi pemakai, dan permasalahannya.
Temu kembali dengan pendekatan pemakai tidak
memperhatikan masalah-masalah perbedaan
penyajian dan persoalan-persoalan dalam teknik-teknik temu kembali. Sebagai
contoh, dalam temu
kembali dengan pendekatan tradisional interaksi pemakai
dan perantara dapat dikatakan
hampir tidak ada; Hampir
senada hal tersebut, dalam pendekatan pemakai meskipun
ada interaksi antara
perantara dan pemakai,
tetapi jarang dihubungkan pada perantara-manusia. Hal
ini dapat diasumsikan karena
konsekuensi alami dari kajian
yang melibatkan sarana temu
kembali tercetak dan pencocokan yang tepat (exact-match)
dalam temu kembali secara elektronis (dengan fasilitas On-Line / jasa
terpasang) (Ingwersen, 1988: 84-85).
Dengan fasilitas On-Line, interaksi
terjadi antara manusia dengan
mesin (komputer). Mesin tersebut
tidak dapat membedakan pemakai
berdasarkan situasi yang dialaminya atau permasalahannya. Perbedaan masalah dan situasi
pemakai menghasilkan
perbedaan persepsi terhadap
relevansi suatu dokumen,
meskipun dengan pertanyaan dan topik yang yang sama.
Menurut sudut pandang kognitif, relevansi suatu
dokumen hanya dapat diukur oleh pemakai
itu sendiri. Karena
kelemahan-kelemahan
tersebut, pendekatan terhadap
pemakai masih mempunyai
kelemahan mirip dengan
pendekatan tradisional, karena
perantara masih belum
bisa sepenuhnya memecahkan
masalah pemakai.
5.
Peranan Pustakawan dalam Temu Kembali Pendekatan Pemakai.
Sebetulnya masih ada
masalah-masalah yang perlu
diketahui dalam temu
kembali informasi berorientasi pemakai yang tidak bisa
penulis bahas dalam
makalah singkat ini.
Masalah atau bab-bab
tersebut antara lain: peranan
perantara dalam temu
kembali yang perlu
diperhatikan pengertiannya.
Karena perantara memegang
peranan penting dalam temu
kembali pendekatan pemakai,
maka makalah ini
akan membahas sedikit tentang
peranan perantara.
Secara ringkas dapat penulis sebutkan bahwa peranan
pustakawan sebagai perantara dalam
temu kembali adalah
pada fungsi matching, atau pencocokkan. Yang dimaksud matching di sini adalah
mencocokkan antara pertanyaan
pemakai dengan dokumen yang ada.
Perantara bisa berupa manusia, atau berupa sistem
(komputer) dengan sarana bantu
lainnya. Tetapi yang
terpenting di sini adalah fungsinya untuk
mencocokkan permintaan
pemakai sehingga tercapai tujuan pemakai tersebut atau
bisa digunakan untuk memecahkan masalahnya.
6. Penutup
Dari uraian tersebut di atas, maka terlihat bahwa
kajian tentang temu kembali informasi yang dimulai pada tahun
1970 sampai saat ini mengalami berbagai perkembangan.
Pada mulanya temu
kembali informasi menggunakan pendekatan fisik atau
kemudian disebut pendekatan
tradisional. Kajian-kajian dengan
pendekatan ini mempelajari
teknik-teknik temu kembali informasi. Teknik temu kembali informasi
tersebut ada yang terus digunakan pada pendekatan-pendekatan selanjutnya. Meskipun demikian,
pendekatan tradisional
tersebut dianggap mempunyai kelemahan
oleh para peneliti mulai
tahun 70-an.
Kelemahan-kelemahan tersebut terlihat karena sudah tidak
sesuai lagi dengan pandangan tentang informasi yang telah
berubah. Pandangan tentang
informasi pada saat itu telah
berubah dari pandangan berorientasi
fisik ke pandangan yang berorientasi kognitif. Oleh karena itu, maka
para peneliti mulai menggunakan
pendekatan berorientasi pemakai.
Temu kembali dengan pendekatan pada pemakai mulai
memperhatikan kebutuhan informasi pemakai serta proses interaksi temu
kembali. Pada pendekatan ini interaksi
terjadi antara pemakai dengan perantara, baik itu perantara yang berupa
mesin maupun manusia. Tetapi
interaksi yang terjadi antara
pemakai dan perantara
manusia masih belum
bisa sepenuhnya memecahkan masalah pemakai.
Hal ini terjadi karena interaksi
tersebut dilakukan dengan
teknik-teknik temu kembali
dengan sistem pencocokan yang
tepat dan pertanyaan-pertanyaan yang
tertutup.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang
permasalahan atau kebutuhan
pemakai, diperlukan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut atau feedback
dari pemakai. Pertanyaan
tersebut diperlukan untuk mengetahui
apakah interpretasi perantara tentang kebutuhan
pemakai telah sesuai dengan
yang dimaksud oleh pemakai atau
tidak.
Kajian-kajian
temu kembali yang
berorientasi pemakai pada umumnya
masih dihubungkan pada lembaga informasi. Oleh karena itu
maka kajian yang berorientasi pada pemakai dianggap masih mempunyai kekurangan-kekurangan yang
hampir sama dengan kajian dengan
pendekatan tradisional. Faktor-faktor prinsip yang membedakan keduanya terletak
pada:
1. Tujuan dan fokusnya.
2. Hasilnya.
3. Pengertian tentang
makna informasi.
4. Disiplin ilmu
pendukungnya.
Akhirnya
karena pengaruh perubahan
pandangan tentang informasi tersebut
di atas, maka
tuntutan pada pemecahan masalah atau permintaan pemakai
semakin nyata. Meskipun demikian, Temu Kembali
Informasi dengan pendekatan
pemakai dianggap masih belum bisa memecahkan masalah pemakai karena
unsur kognisi pemakai
kurang diperhatikan.
Kemudian para ahli mulai mengembangkan teknik
temu kembali tersebut dengan
menggabungkan kedua teknik
temu kembali tersebut di atas
dan lebih menekankan pada pengetahuan pemakai. Teknik temu
kembali yang menggunakan pendekatan
ini disebut temu kembali dengan
pendekatan kognitif. (Ingwersen, 1992: p.64-80). Hal ini merupakan manfaat yang
dapat diperoleh dalam temu kembali dengan pendekatan tradisional.
Inti dari pendekatan tradisional atau pendekatan
berorientasi sistem adalah teori Shanon dan Weaver. Mereka melihat informasi sebagai sesuatu yang objektif,
eksternal, dan berada di luar individu. Informasi merupakan pesan ulang yang
disampaikan seseorang kepada orang lain melalui perantara atau saluran
informasi. Informasi ada dalam keadaan yang teratur dapat didefinisikan secara jelas,
dan dapat diukur. Saluran tersebut menurut Ingwersen disebut Intermediary atau perantara.
Kajian temu kembali dengan pendekatan tradisional
tersebut bertujuan untuk mempelajari teori-teori pengindeksan, teknik-teknik
temu kembali, serta mekanisme komponen-komponen sistem dalam lembaga informasi.
Tekanannya pada hasil temu kembali dengan ketepatan yang tinggi. Untuk
mencapainya dilakukan usaha dengan membandingkan berbagai teknik dan
teori-teori temu kembali informasi.
Temu kembali dengan pendekatan tradisional ini
menggunakan konsep Aboutness dan relevance. Konsep aboutness yang digunakan dalam pendekatan tradisional ada dua
macam, yaitu author aboutness, dan indexer aboutness. Sedang “aboutness” pemakai, yaitu jawaban atas
pertanyaan tentang apa isis dokumen tersebut menurut pemakai, tidak
diperhatikan.
Dalam temu kembali dengan pendekatan tradisional,
relevansinya suatu dokumen terdiri dari suatu hubungan tunggal, yaitu
mencocokkan topik subyeknya. Sedangkan temu kembali dengan pendekatan kognitif,
semua bagian dari pertanyaan penelusuran harus cocok dengan deskripsi dokumen
tersebut.
DAFTAR BACAAN
1. Barry. 1994. Dalam Green, Rebecca. 1995.
Topical relevance relationship : 1.
Why topic matching fails. Journal American Society for Information Science. 46(9): 647
2. Belkin, Nicholas J. dan Vickery A.
(1985) "Interaction in information
systems : a review of research from document retrieval to
knowledge-based systems". Library
and Informatìon Research Report, No.35 : 11 - 19
3. Dervin,
Brenda, 1983. "An
overview of sense-making
research: concept, methods, and result to data". Makalah
disajikan pada Annual meeting
of the International Communication Association, Dallas.
4. Ingwersen,P. 1988. Towards a new
research paradigm in
information retrieval. Dalam
: Ingwersen, P. loc.cit. p. 80
5. Ingwersen,P.
1992. Information retrieval interaction. London : Taylor Graham, p. 61 - 85
6. Jarvelin dan Vakkari, Dalam Ingwersen, P., 1992. Information retrieval
interaction. London : Taylor
Graham, p.49
7. Morris,
Ruth C. 1994. "Toward
a user-centered information
service". Journal
American Society for Information
Science, 45 (1)
8. Pendit, Putu Laxman. 1993. “Pendekatan
berorientasi pemakai dalam
kajian tentang perpustakaan dan
sistem informasi." Makalah disampaikan
pada Temu ilmiah dua hari: Perpustakaan dan
teknologi informasi. Perpusnas
RI , 8 - 9 Juni 1993. Jakarta : Perpustakaan Nasional
R I. , : 1-11.
9. Powel, Ronald R, 1994.
Dalam : Darmono dan Ardoni.
"Kajian pemakai dan
sumbangannya kepada dunia Pusdokinfo". Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Vol.1
(2), April: 21 – 34.
10. Saracevic
Dalam Green, Rebeca, 1995 "Topical relevance
relationship bagian 1. Why topic
matching fails". Journal American Society. for Information Science.
46(9): 646-653
11. Suyanto, 1993.
Studi tentang karakteristik
pemakai informasi. Majalah
Ikatan Pustakawan Indonesia , 15 (3-4) : 57-64
12. White, Herb, 1993. Dalam :
Pendit, Putu Laxman. "Pendekatan berorientasi
pemakai dalam kajian
tentang perpustakaan dan sistem informasi." Makalah
disampaikan pada Temu ilmiah dua hari:
Perpustakaan dan Teknologi Informasi,
Perpusnas RI, 8- 9 Juni Jakarta: Perpustakaan Nasional RI,
1993: 1 - 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar