Kamis, 12 September 2013

TEMU KEMBALI INFORMASI DARI SUDUT PANDANG PENDEKATAN BERORIENTASI PEMAKAI


[*]TEMU KEMBALI INFORMASI DARI SUDUT PANDANG
PENDEKATAN BERORIENTASI PEMAKAI*)

OLEH:
SRI ATI SUWANTO**)
    
ABSTRACT

   User oriented approach is a systematic study of users’ characteristics and behaviours to find information concerning its interaction with information systems (instutions). Basically there are three approaches to the study of information retrival processes, namely traditional approach,   user oriented, and cognitif approach.
            The user-oriented approach to information retrieval research provides information retrieval theory with a substantial insight into users’ mental behaviour and information seeking characteristics.  This approach focusses itself on the psychological and behavioral aspects of the communication between users and authors. This approach aims at  the improvement of information retrieval effectiveness within the framework of the users, their information need, and the interactive processes of searching behaviour. But, this interaction process still could not solve the users’ problems. This is caused by the interation between  information retrieval technique using matching system and clossed questions.
            In order to get more evidence about users problems or information need, further questions or feedback from the user in order to know whether intermediary interpretation match with the user’s or not are needed.
            The user oriented approach is still connected to information systems so that it is considered to have the same shortcoming as the traditional approach is. This reason caused the cognitive approach to appear. 

1. Pendahuluan

Studi  tentang  pemakai  merupakan  kajian  secara   sistematis   terhadap karakteristik dan perilaku pemakai informasi berkenaan dengan interaksinya dengan sistem informasi (Suyanto, 1993: 57 – 64).  Menurut  White (1993),  sebuah kajian bisa dinamakan kajian  pemakai bila  kajian tersebut merupakan kajian yang tidak  terfokus  pada apa yang dikerjakan perpustakaan tetapi pada apa yang  dikerjakan oleh orang-orang  bila  mereka  membutuhkan   informasi.   Dari pernyataan  White  ini maka tersirat makna bahwa  kajian  pemakai adalah  kajian tentang orang yang membutuhkan informasi.  Lingkup kajian pemakai  bukan hanya berada di perpustakaan tetapi juga di luar perpustakaan.
Jika dilihat dari kenyataan yang ada, belum  tentu semua  orang yang  membutuhkan  informasi akan memakai  perpustakaan.  Powell (1994: 21- 34), menggunakan  dua  istilah  untuk mengkaji  pemakai,  yaitu  House  survey  of  users   bagi  pemakai  yang  menjadi  anggota   suatu  perpustakaan,  dan  Community analysis untuk  pemakai  baik  yang         menjadi   anggota  maupun  bukan  anggota  perpustakaan.   Dengan demikian maka jika dilihat dari ruang lingkupnya, kajian  pemakai   termasuk Community Analysis.
Kajian pemakai timbul akibat adanya perubahan  cara  memandang informasi,   yaitu  dengan  munculnya  paradigma  kognitif   yang  berlawanan  dengan  paradigma fisik.  Paradigma  fisik  memandang informasi sebagai sesuatu yang objektif, berada di luar  manusia, dan  dapat  disentuh.  Sedangkan  paradigma  kognitif   memandang  informasi  sebagai sesuatu yang subyektif, individual, dan  tidak  dapat disentuh ( Dervin: 1983).
Karena  perubahan  cara memandang informasi  tersebut,  maka      pandangan  dalam temu kembali informasi berubah  pula.  Pandangan  tersebut berubah dari temu kembali dengan pendekatan fisik  (yang menurut  Ingwersen disebut pendekatan tradisional)  menjadi  temu kembali dengan pendekatan pemakai. Dalam perkembangannya kemudian  menjadi temu kembali dengan pendekatan kognitif.
Untuk  mengetahui  gambaran  secara  menyeluruh  tentang   temu kembali  informasi  dengan pendekatan pemakai, sebelum  itu  akan diulas hakekat temu kembali informasi.
       
2. Temu kembali informasi
Kajian-kajian yang mempelajari informasi termasuk dalam cakupan Ilmu Informasi.  Inti dari kajian-kajian bidang  Ilmu  Informasi adalah  temu kembali informasi (Jarvelin dan Vakary, 1992).  Menurut Belkin (1985)   titik  perhatian atau fokus dalam kajian tentang temu kembali informasi ada  lima, yaitu :
1.      Perpindahan informasi dalam sistem komunikasi;
2.      Pemikiran tentang informasi yang diinginkan;.
3.      Efektifitas sistem dan perpindahan informasi;
4.      Hubungan antara informasi dengan penciptanya;
5.  Hubungan antara informasi dengan pemakai;
   Tujuannya  adalah  untuk mempelajari  proses  temu  kembali, membentuk,  membangun dan mengevaluasi sistem temu  kembali  yang   dapat memberikan informasi yang diinginkan secara efektif  antara   pengarang  dan pemakai.
Secara tradisional, pada umumnya informasi bentuknya teks.  Hal ini  menggambarkan bahwa temu kembali informasi sama dengan  temu kembali  dokumen,  tanpa mempertimbangkan apakah itu  teks,  atau non-teks.  Sejalan dengan pandangan terhadap informasi  tersebut, maka   temu  kembali  informasi  dengan  pendekatan   tradisional difokuskan  pada  dokumen. Isi pendekatan  ini  adalah  bagaimana menempatkan  dokumen dengan cara yang tepat. Sedang temu  kembali berorientasi pemakai difokuskan pada  aspek-aspek  perilaku  dan  psikologi komunikasi informasi antara pengarang dan pemakai
Dalam perkembangan terakhir, lahan temu kembali informasi telah diperluas  ke multimedia yang berhubungan dengan penyimpanan  dan temu  kembali bahan-bahan grafis, pita  suara,  komponen-komponen perangkat lunak, dan dokumen kantor.
Masalah utama dalam temu kembali secara umum adalah menemukan  informasi  baik dalam bentuk teks maupun non-teks.  Temu  kembali   informasi  tersebut diharapkan dapat memuaskan  pemakai  terhadap  permasalahan  kebutuhan informasi mereka. Interaksi akan  terjadi  antara   pustakawan  dan  pemakai  untuk  menjawab   permasalahan pemakai.  Permasalah-permasalah mereka menurut Ingwersen (1992: 61-93)  disebut aboutness,  dan  dua konsep dasar lain yang penting dalam semua  proses  temu  kembali yaitu Representation, dan Relevance.  
 Aboutness   maksudnya  untuk  menjawab  tentang   apa dokumen tersebut. Aboutness  ada tiga macam, yaitu indexer aboutness,  author aboutness, dan user aboutness. Maksud dari aboutness itu  sendiri adalah untuk menjawab tentang apa dokumen tersebut (What is  this document about). Representation  adalah wakil dari dokumen, yang bisa  berupa katalog   atau   indeks.  Sedangkan  Relevance   adalah   tingkat keterkaitan  dan kegunaan suatu teks terhadap suatu  permintaan.  Dalam  konteks temu kembali informasi, relevance adalah hubungan antara  suatu  dokumen dan kebutuhan pemakai  yang  berguna  bagi pemakai tersebut.
Faktor  utama  yang digunakan untuk  mengukur  relevansi  suatu        dokumen terhadap kebutuhan pemakai adalah “Topik”  atau  “Subjek”  dokumen tersebut. Yang dimaksud topik suatu dokumen  atau   teks adalah tentang apa yang ditulis pengarang dokumen  tersebut. Apakah  dokumen tersebut relevan tidak dengan pertanyaan  pemakai  dapat dilihat dari topik dokumen tersebut.
Pola  umum  relevance   menurut  Saracevic  (1995: 6-48)  sebagai berikut: "Relevance adalah A dari B, yang berada di antara C  dan  D,  seperti  yang dimaksudkan oleh E".  Yang  dimaksud  dengan  A   adalah  hubungan,  B adalah kecocokan atau  ketepatan,  C  adalah  dokumen,  D adalah pertanyaan, dan E adalah perumusan  seseorang,   misalnya ahli informasi atau pustakawan.
  Pola tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :  
Gambar   1
                          

  E
 

     D

 


        B

 

     C

 
A
 
           
                           -----à    
                                                          


Dengan   demikian  relevance  adalah  ukuran   ketepatan   yang    dilakukan untuk  merumuskan apakah suatu  dokumen  cocok  dengan  pertanyaan   pemakai.  Rumusan  tersebut  dilakukan   oleh   ahli   informasi  atau  perantara.  Dengan  demikian  apa  yang  menurut   pustakawan  cocok belum tentu benar-benar cocok menurut pemakai. Konsep-konsep Aboutness, Representation, dan Relevance tersebut  digunakan dalam teknik-teknik temu kembali baik dengan pendekatan  tradisional,  pendekatan  pemakai,  maupun  pendekatan  kognitif, dengan   sedikit  perbedaan.
3. Pendekatan Tradisional
Temu kembali dengan pendekatan tradisional menurut  Ingwersen (1992, 61 – 93),   telah diakui memiliki teori yang potensial. Teori tersebut antara lain  teori  klasifikasi  berfaset  PMEST  (Personality,  Matter, Energy, Space, Time) yang dikemukakan oleh Ranganatan pada  tahun 1952.  Teori  PMEST  tersebut yaitu  teori  untuk  mencari  topik   makalah  berdasarkan  judul dengan urutan yang  diutamakan  unsur   Personalitity,  Matter,  dan  seterusna.  Teori  tersebut   telah   digunakan  sebagai  salah satu sarana dasar  dalam  temu  kembali  informasi  dengan berdasarkan pengetahuan (knowledge based)  atau  kognisi (Ingwersen, 1992: 64-80). Hal ini merupakan manfaat  yang  dapat diperoleh dalam temu kembali dengan pendekatan tradisional.
Inti dari pendekatan tradisional atau pendekatan berorientasi sistem  adalah teori Shanon dan Weaver. Mereka melihat  informasi  sebagai  sesuatu  yang  objektif, eksternal dan  berada  di  luar   individu.    Informasi   merupakan   pesan    yang    disampaikan  seseorang kepada orang lain melalui suatu saluran. Informasi ada dalam keadaan yang teratur, dapat didefinisikan secara jelas, dan  dapat diukur10. Saluran tersebut menurut  Ingwersen  disebut   Intermediary atau perantara.
Kajian  temu  kembali dengan  pendekatan  tradisional  tersebut bertujuan  untuk  mempelajari teori-teori  pengindeksan,  teknik-teknik  temu  kembali, serta mekanisme  komponen-komponen  sistem dalam  lembaga  informasi.  Tekanannya pada  hasil  temu  kembali  dengan  ketepatan yang tinggi. Untuk mencapainya dilakukan  usaha  dengan membandingkan berbagai teknik dan teori-teori temu kembali  informasi.
Temu  kembali  dengan pendekatan  tradisional  ini  menggunakan   konsep  Aboutness dan relevance. Konsep aboutness yang  digunakan  dalam  pendekatan  tradisional  ada  dua  macam,   yaitu  author aboutness,  dan  indexer aboutness.  Sedang  "aboutnes"  pemakai, yaitu  jawaban  atas  pertanyaan  tentang  apa  dokumen  tersebut  menurut pemakai, tidak diperhatikan. 
Dalam  temu  kembali dengan pendekatan  tradisional,  relevansi  suatu   dokumen  terdiri  dari  satu  hubungan   tunggal,   yaitu mencocokan  topik  subjeknya.  Sedangkan   temu  kembali   dengan  pendekatan-pendekatan  lainnya,  semua  bagian  dari   pertanyaan  penelusuran harus cocok dengan deskripsi dokumen tersebut (Saracevic, 1995: 646 – 653). Oleh  karena  itu, para peneliti banyak yang  menyatakan  bahwa  temu    kembali   dengan   pendekatan    tradisional    mempunyai    keterbatasan-keterbatasan   atau  kelemahan-kelemahan   khususnya tentang  perumusan  pertanyaan  atau  permintaan  pemakai   (user aboutness) (Ingwersen, 1992: 60 ).
Kelemahan-kelemahan   penting   dari   pendekatan   tradisional   adalah:
          1) Konsep meaning  dan informasi kurang akurat.
    2) Makna aboutness dari pengarang dan pemakai berbeda.
    3)  Penggunaan  makna  informasi  pada  dokumen  kurang  tepat.
Sebagai  contoh, metode-metode yang diterapkan pada analisa  teks   dan   teknik-teknik  temu  kembali  informasi   digunakan   untuk  merumuskan  dan menjawab pertanyaan pemakai.  Perumusan  tersebut  dilakukan oleh perantara. Hasil rumusan perantara ini belum tentu  cocok  dengan  rumusan pemakai;  Dengan kata lain  user  aboutness   berbeda  dengan  indexer  aboutness. Hal  ini  disebabkan  karena  rumusan   suatu  dokumen hanya didasarkan pada  data  bibliografi  saja,  seperti  judul  dan abstrak.  Bagian-bagian  dari  dokumen tersebut  yang mungkin relevan tidak digunakan.  Dengan  demikian  konsep  informasi  dari dokumen yang dirumuskan  oleh  pengindeks   kurang akurat. Hal  ini  menunjukkan bahwa pustakawan  memerlukan  pertanyaan  pertanyaan  lebih  lanjut. Pertanyaan  tersebut  misalnya  dengan logika Boolean, atau dengan istilah-istilah yang serupa.   Dengan teknik ini mungkin pertanyaan pemakai dapat dimengerti.  Meskipun demikian   belum  tentu  menggambarkan  arti  dari   permasalahan  pemakai,  karena  interaksi dengan  pemakai  tidak  diperhatikan.  Informasi   aktual   yang  ada  dalam   pikiran   pemakai   tidak   diperhatikan.  Oleh  karena itu, beberapa  teks  yang  sebenarnya   relevan  yang  ada di lembaga informasi  tersebut  mungkin  tidak  diketahui atau  tidak  dapat digunakan untuk  menjawab  pertanyaan  pemakai.
Setelah melihat kekurangan-kekurangan pendekatan tradisional, maka  timbul  pertanyaan: Apakah temu kembali  dengan  pendekatan berorientasi  pemakai  lebih  bisa  memenuhi  kebutuhan  pemakai ? Bagaimanakah   temu  kembali  informasi  dengan   menggunakan pendekatan  kepada pemakai itu? Apakah beda temu  kembali  dengan  pendekatan  tradisionil dibanding temu kembali dengan  pendekatan  pemakai ?

4. Pendekatan Berorientasi Pemakai
Dari  hasil-hasil pengamatan terhadap pendekatan tradisional yang  dianggap  mempunyai  banyak  kekurangan,  para  ahli  mulai menggunakan  pendekatan berorientasi pemakai dalam  temu  kembali informasi.
Seperti  telah disebut di atas, temu kembali  informasi  dengan pendekatan  pemakai  menitikberatkan kajiannya  pada  aspek-aspek perilaku  dan  psikologi  komunikasi  informasi  yang  diinginkan  antara pengarang dan pemakai informasi.
Kajian berorientasi pemakai ini bertujuan untuk mengembangkan efektifitas  temu  kembali  dalam  kerangka  pemikiran   pemakai, kebutuhan   informasinya,  dan  proses  interaksi  temu   kembali informasi.
 Secara  rinci  maka  ciri-ciri temu  kembali  informasi  dengan pendekatan pemakai adalah sebagai berikut (Ingwersen, 1988: 80):
            1. Tujuan dan fokus :
Mengkaji penulisan masalah-masalah informasi, dan  perilaku  pencarian informasi. Fokusnya pada proses pemecahan  masalah  pemakai  dan perantara selama temu kembali,  khususnya  yang  berhubungan   dengan  perkemba-ngan  kajian-kajian   tentang kebutuhan   informasi.  Di  samping  itu  juga  agar   dapat meningkatkan efektifitas temu  kembali.
            2. Hasil :
Suatu  interaksi  temu kembali informasi yang  dinamis  dan  kompleks.   Temu kembali informasi dianggap  sebagai   suatu proses  interaksi pemecahan masalah dan   berorientasi  pada tujuan.   Keterlibatan  sistem  (lembaga  informasi)   hanya    sedikit.  Pemakai   bisa  terdiri  dari,  beberapa  kelompok masyarakat,   seperti  ilmuwan, anak-anak, orang  awam,  dan seringkali  orang  yang  dengan  kebutuhan  dan  permintaan informasi  yang belum jelas.
            3. Pengertian informasi
Informasi diartikan dalam suatu konteks yang luas,  termasuk   hal-hal  non-ilmiah. Informasi dianggap  memainkan peranan penting  dalam  perpindahan  informasi  dan   komunikasi  di segala lapisan masyarakat.
            4. Penggunaan disiplin ilmu pendukung:
Ilmu-ilmu  kognitif dan sosiologi digunakan sebagai disiplin  ilmu  pendukung dasar. Psikologi kognitif dan  psiko-linguistik diterapkan  pada  perilaku antara pemakai  dan  perantara,  dan untuk mengerti formulasi atau rumusan  permintaan.
Dari ciri-ciri tersebut di atas, maka terlihat bahwa dalam temu  kembali  dengan  pendekatan  pemakai  penyajian   masalah informasi memegang   peranan   penting.   Perantara   menaruh perhatian  terhadap kebutuhan  pemakai dan bisa mendapat  jalan yang terbaik untuk mengambil intisari informasi yang akurat dan    potensial.  Dengan kata lain, dalam pendekatan  ini  "aboutnes" pemakai telah mulai diperhatikan. 
   Pada  umumnya  temu kembali dengan pendekatan pemakai masih           mencocokkan   relevansi  dokumen  dengan   permintaan   pemakai berdasarkan  topiknya.  Meskipun  demikian,  sebenarnya  banyak faktor-faktor  lain yang dianggap penting dan mempunyai  dampak persepsi  pemakai tentang  relevansi  suatu  dokumen. Faktor  faktor  tersebut menurut Barry (1994) ada duapuluh tiga,  antara  lain:  kemutakhiran  dokumen, kualitas sumber,  eksistensi  pengarang, dan lain-lain.
Dalam  temu kembali dengan pendekatan pemakai, ada  satu  hal yang  perlu ditekankan. Menurut Belkin (Ingwersen, 1988: 88), meskipun  pendekatan ini  dipengaruhi oleh pandangan kognitif, dan banyak  penemuan-penemuannya,  serta  proses temu  kembalinya  yang  berdasarkan pandangan   kognitif,  tidak  berarti  pendekatan  ini   secara otomatis  termasuk  pendekatan  kognitif.  Hal  ini  disebabkan karena  tujuan  kajian  dalam temu  kembali  dengan  pendekatan pemakai  menghilangkan  beberapa  komponen  sistem.   Komponen-komponen  tersebut  antara lain faktor-faktor  sebelum  pemakai melakukan   pencarian  informasi,  antara   lain:   pengetahuan  pemakai, situasi pemakai, dan  permasalahannya.
Temu kembali dengan pendekatan pemakai tidak memperhatikan  masalah-masalah  perbedaan  penyajian  dan  persoalan-persoalan dalam  teknik-teknik temu kembali. Sebagai contoh,  dalam  temu  kembali  dengan  pendekatan tradisional interaksi  pemakai  dan perantara  dapat  dikatakan  hampir tidak  ada;  Hampir  senada hal  tersebut, dalam  pendekatan pemakai  meskipun  ada    interaksi   antara   perantara  dan  pemakai,   tetapi   jarang dihubungkan pada perantara-manusia. Hal ini dapat diasumsikan karena  konsekuensi  alami dari kajian yang  melibatkan  sarana temu  kembali tercetak dan pencocokan yang tepat  (exact-match) dalam  temu  kembali secara elektronis (dengan  fasilitas  On-Line / jasa  terpasang) (Ingwersen, 1988: 84-85).   Dengan fasilitas On-Line,  interaksi  terjadi antara  manusia dengan mesin (komputer).  Mesin  tersebut  tidak dapat  membedakan pemakai berdasarkan situasi  yang  dialaminya atau  permasalahannya.  Perbedaan masalah dan  situasi  pemakai menghasilkan   perbedaan  persepsi  terhadap  relevansi   suatu   dokumen,  meskipun dengan pertanyaan dan topik yang yang  sama.
Menurut  sudut pandang kognitif, relevansi suatu dokumen  hanya dapat diukur oleh pemakai itu sendiri. Karena  kelemahan-kelemahan  tersebut,  pendekatan terhadap pemakai  masih  mempunyai  kelemahan  mirip  dengan  pendekatan  tradisional,  karena  perantara  masih  belum  bisa  sepenuhnya memecahkan masalah pemakai.
       
 5. Peranan Pustakawan dalam Temu Kembali Pendekatan Pemakai.
Sebetulnya    masih    ada   masalah-masalah    yang    perlu  diketahui   dalam    temu   kembali   informasi    berorientasi pemakai yang tidak bisa penulis  bahas  dalam  makalah  singkat  ini.   Masalah   atau  bab-bab  tersebut antara  lain:  peranan   perantara   dalam   temu  kembali   yang   perlu   diperhatikan pengertiannya.   Karena   perantara  memegang  peranan  penting dalam   temu  kembali  pendekatan  pemakai,  maka  makalah  ini  akan  membahas sedikit tentang peranan perantara.
Secara ringkas dapat penulis sebutkan bahwa peranan pustakawan sebagai perantara dalam   temu   kembali  adalah  pada  fungsi   matching,   atau pencocokkan.  Yang dimaksud matching di sini adalah  mencocokkan  antara pertanyaan pemakai dengan dokumen yang ada.  Perantara bisa berupa manusia, atau berupa  sistem  (komputer)  dengan sarana bantu lainnya.  Tetapi  yang  terpenting  di  sini adalah fungsinya  untuk  mencocokkan  permintaan pemakai  sehingga  tercapai tujuan pemakai tersebut  atau  bisa digunakan untuk memecahkan masalahnya.
       

6. Penutup
Dari  uraian  tersebut di atas, maka terlihat  bahwa  kajian tentang  temu  kembali informasi yang dimulai pada  tahun  1970 sampai saat ini mengalami berbagai perkembangan.
Pada  mulanya temu kembali informasi  menggunakan  pendekatan fisik  atau  kemudian disebut pendekatan  tradisional.  Kajian-kajian  dengan  pendekatan ini mempelajari  teknik-teknik  temu kembali  informasi. Teknik temu kembali informasi tersebut  ada yang  terus digunakan pada  pendekatan-pendekatan  selanjutnya. Meskipun  demikian,  pendekatan tradisional  tersebut  dianggap mempunyai  kelemahan  oleh  para peneliti  mulai  tahun  70-an.
Kelemahan-kelemahan tersebut terlihat karena sudah tidak sesuai lagi  dengan  pandangan tentang informasi yang  telah  berubah. Pandangan  tentang informasi pada saat itu telah  berubah  dari pandangan  berorientasi  fisik ke pandangan  yang  berorientasi kognitif. Oleh karena itu, maka para peneliti mulai menggunakan           pendekatan berorientasi pemakai.
Temu  kembali  dengan pendekatan pada pemakai  mulai  memperhatikan kebutuhan informasi pemakai serta proses interaksi temu kembali.  Pada pendekatan ini interaksi terjadi antara  pemakai dengan  perantara, baik itu perantara yang berupa mesin  maupun manusia.  Tetapi  interaksi  yang terjadi  antara  pemakai  dan  perantara  manusia  masih  belum  bisa  sepenuhnya   memecahkan masalah  pemakai.  Hal ini terjadi  karena  interaksi  tersebut  dilakukan  dengan  teknik-teknik  temu  kembali  dengan  sistem pencocokan yang tepat dan  pertanyaan-pertanyaan yang tertutup.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan atau kebutuhan   pemakai,  diperlukan  pertanyaan-pertanyaan   lebih lanjut   atau  feedback  dari  pemakai.   Pertanyaan   tersebut diperlukan  untuk  mengetahui  apakah  interpretasi   perantara tentang  kebutuhan  pemakai telah sesuai dengan  yang  dimaksud oleh pemakai atau tidak. 
Kajian-kajian  temu  kembali yang berorientasi  pemakai  pada umumnya  masih dihubungkan pada lembaga informasi. Oleh  karena itu  maka kajian yang berorientasi pada pemakai dianggap  masih mempunyai kekurangan-kekurangan yang hampir sama dengan  kajian dengan pendekatan tradisional. Faktor-faktor prinsip yang membedakan keduanya terletak pada:

           1. Tujuan dan fokusnya.
            2. Hasilnya.
            3. Pengertian tentang makna informasi.
            4. Disiplin ilmu pendukungnya.
Akhirnya   karena   pengaruh  perubahan   pandangan   tentang informasi  tersebut  di  atas,  maka  tuntutan  pada  pemecahan masalah atau permintaan pemakai semakin nyata. Meskipun demikian, Temu Kembali  Informasi  dengan pendekatan pemakai dianggap masih belum bisa memecahkan masalah pemakai  karena  unsur  kognisi  pemakai  kurang  diperhatikan.
Kemudian  para  ahli mulai mengembangkan  teknik  temu  kembali           tersebut  dengan   menggabungkan  kedua  teknik  temu   kembali tersebut di atas dan lebih menekankan pada pengetahuan pemakai. Teknik  temu  kembali yang menggunakan pendekatan  ini  disebut temu kembali dengan pendekatan kognitif. (Ingwersen, 1992: p.64-80). Hal ini merupakan manfaat yang dapat diperoleh dalam temu kembali dengan pendekatan tradisional.
Inti dari pendekatan tradisional atau pendekatan berorientasi sistem adalah teori Shanon dan Weaver. Mereka melihat informasi sebagai sesuatu yang objektif, eksternal, dan berada di luar individu. Informasi merupakan pesan ulang yang disampaikan seseorang kepada orang lain melalui perantara atau saluran informasi. Informasi ada dalam keadaan yang teratur dapat didefinisikan secara jelas, dan dapat diukur. Saluran tersebut menurut Ingwersen disebut Intermediary atau perantara.
Kajian temu kembali dengan pendekatan tradisional tersebut bertujuan untuk mempelajari teori-teori pengindeksan, teknik-teknik temu kembali, serta mekanisme komponen-komponen sistem dalam lembaga informasi. Tekanannya pada hasil temu kembali dengan ketepatan yang tinggi. Untuk mencapainya dilakukan usaha dengan membandingkan berbagai teknik dan teori-teori temu kembali informasi.
Temu kembali dengan pendekatan tradisional ini menggunakan konsep Aboutness dan relevance. Konsep aboutness yang digunakan dalam pendekatan tradisional ada dua macam, yaitu author aboutness,  dan  indexer aboutness. Sedang “aboutness” pemakai, yaitu jawaban atas pertanyaan tentang apa isis dokumen tersebut menurut pemakai, tidak diperhatikan.
Dalam temu kembali dengan pendekatan tradisional, relevansinya suatu dokumen terdiri dari suatu hubungan tunggal, yaitu mencocokkan topik subyeknya. Sedangkan temu kembali dengan pendekatan kognitif, semua bagian dari pertanyaan penelusuran harus cocok dengan deskripsi dokumen tersebut.

       


DAFTAR BACAAN

1.    Barry. 1994.  Dalam Green, Rebecca. 1995. Topical  relevance relationship : 1. Why  topic matching fails. Journal American Society  for Information Science. 46(9): 647
2.    Belkin, Nicholas J. dan Vickery A. (1985)  "Interaction in infor­mation  systems : a review of research from  document  re­trieval to knowledge-based systems". Library and  Informa­tìon Research Report, No.35 : 11 - 19
3.    Dervin,  Brenda, 1983.   "An  overview  of  sense-making   research: concept, methods, and result to data". Makalah disajikan pada  Annual    meeting   of   the   International    Communication Association, Dallas.
4.    Ingwersen,P. 1988.  Towards  a  new research  paradigm  in  information retrieval.  Dalam : Ingwersen, P. loc.cit. p. 80
5.    Ingwersen,P. 1992.   Information  retrieval  interaction.   London: Taylor Graham, p. 61 - 85
6.    Jarvelin  dan Vakkari, Dalam Ingwersen, P., 1992. Information retrieval interaction. London: Taylor Graham,  p.49
7.    Morris,   Ruth  C. 1994.  "Toward  a   user-centered   information   service".  Journal  American Society for  Information Science, 45 (1)
8.    Pendit, Putu Laxman. 1993.  “Pendekatan   berorientasi  pemakai  dalam   kajian   tentang perpustakaan dan sistem informasi." Makalah disampaikan  pada Temu  ilmiah dua hari: Perpustakaan dan teknologi  informasi. Perpusnas  RI, 8 - 9 Juni 1993. Jakarta: Perpustakaan  Nasional  R I., : 1-11.
9.    Powel, Ronald  R, 1994.  Dalam : Darmono  dan  Ardoni.  "Kajian  pemakai dan sumbangannya kepada  dunia  Pusdokinfo".  Jurnal  Ilmu Perpustakaan dan  Informasi,  Vol.1  (2), April:  21 – 34.
10.   Saracevic  Dalam  Green, Rebeca, 1995   "Topical  relevance  relationship  bagian 1. Why topic matching fails". Journal  American Society. for Information Science. 46(9): 646-653
11.   Suyanto, 1993.  Studi  tentang  karakteristik  pemakai   informasi. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia, 15 (3-4) : 57-64
12.  White, Herb, 1993. Dalam : Pendit, Putu  Laxman. "Pendekatan   berorientasi  pemakai  dalam   kajian   tentang perpustakaan dan sistem informasi." Makalah disampaikan  pada Temu  ilmiah dua hari: Perpustakaan dan Teknologi  Informasi, Perpusnas  RI, 8- 9 Juni  Jakarta: Perpustakaan  Nasional RI,  1993:     1 - 11






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar