Selasa, 01 November 2011

Pengertian Tasawuf Falsafi

1. Pengertian Tasawuf Falsafi Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut berasal dari bermacam-macamajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun atikohnya baru dikenal seabad kemudian. Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme. Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo_Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat Timur kuno, baik dari Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran Batiniyah sekte Ismailiyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa. Objek yang menjadi perhatian para tasawuf filosof adalah 1. latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta rasa(dhauq 2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani, ‘arty, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas. 1. Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi 1. Ibn Arabi dan Karyanya Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhamad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitimi. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tahun 560 H, beliau lahir dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.[1] Ia tinggal di Hizaj dan meninggal pada tahun 638H. Di Sevilla (Spanyol) Ia mempelajari Al-Qur’an, Hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm Az-Zuhri. Di usiannya 30 Ibn Arabi berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian Barat dan berguru kepada Abu Madyan, Al-Ghauts At_Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan perempuan). Kemudian ia bertemu juga dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib istana dinasti Barbar dari Alomond, di Kordova[2]. ia pun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh pada zaman itu. Di antara karyanya adalah Al-Futuhat Al-Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.[3] Karya lainnya sebagaimanan dilaporkan oleh Muolvi Al-Abdal, Kimiya As-Sa’adat,Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasa’il, Al-Ilahiyyah, Mawaqi’ An-Nujum, Al-Jam’ wa At-Tafsishil fi Haqa’iq At-Tanzil, Al-Ma’rifah dan Al-Isra’ila Maqam Al-Atsana.[4] c. Ajaran-Ajaran Tasawuf Ibn Arabi Ajaran pertama dari Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tetapi dari Ibn Taimiyah yang sekaligus merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Untuk lebih jelasnya kritikan Ibn Taimiyah atas ajaran Ibn Arabi, terlebih dahulu dapat kita perhatikan pandangan mereka terhadap wahdat al-wujud; menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajibul wujud yang dimiliki oleh khaliq juga mumkinul wujud yang dimiliki oleh makhluk selain itu, kemudian mereka mengatakan juga bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan tidak ada perbedaan. Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud mahluk merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemapuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek tasybihnya saja (penyerupaan Khaliq dengan makhluq), tetapi belum menilai dari aspek Tanzihnya (penyucian khaliq). Terkait dengan ajaran Ibn Arabi mengenai wahdat al-wujud kita dapat menilai dari isi syair dan pandangan atau penafsirannya terhadap isi Al-quran yang berhubungan dengan wahdat al-wujud diantaranya; “Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”.[5] Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (Khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn arabi mengemukakan lewat syairnya sebagai berikut; ”Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba. Demi syu’ur (perasan)ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakana Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?”[6] Dari syair tersebut timbullah pertanyaan; kalau antara Khaliq dan mahluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandang dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikah keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah. Sehubungan dengan hal tersebut, Ibn Arabi pun menyatakan dalam sya’irnya sebagai berikut; “Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkannlah. Pada sisi lain, Dia bukan makhluk, maka renungkannlah. Siapa saja yang menangkap yang aku katakan, penglihatannya tidak akan perna kabur. Tidak ada yang akan menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan. Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu. Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar.” Dari keterangan di atas Ibn Arabi terkesan menyatukan wujud tuhan dengan wujud alam yang dalam istilah Barat disebut Panteisme dan didefinisikan Henry C.Theissen seperti berikut: “Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada denag natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang di antaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politestik, dan teistik.”[7] Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme di atas, perlu diingat bahwa Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada wujud selain wujud tuhan, adapun Ibn Arabi menggunakan wujud terhadap selain tuhan yaitu wujud alam, pada hakikatnya wujud tersebut milik Tuhan yang dipinjamkan kepadanya, untuk hal ini Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Selanjutnya Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat Tajali dan Mazhar (penampakan) Tuhan. ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan difat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak hanya dikenal oleh siapa pun. Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan sya’irnya: “wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak.”[8] Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits qudsi: “Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makluk, lalu, dengan itulah mereka mengenal Aku.” Penjelasan konsep tanzih dan tasbyh dapat kita pahami melalui syairnya sebagai berikut; “Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikatNya. Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau membatasiNya. Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah iman dan tuan dalam berbagai pengetahuan. Siapa saja yang berkata dengan dualitis Tuhan dan alam adalah musyrik; dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dan alam adalah muwahid. Oleh karena itu, berhati-hati terhadap tasybih jika engkau mengakui dualitas, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika engkau mengakui monistis. Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya dalam ‘ain segala sesuatu, baik sebagai sesuatu yang lepas maupun sebagai sesuatu yang terikat. Berkaitan dengan tanzih dan tasybih Ibn Arabi menjelaskan firman Allah, laisa kamitslihi syaiin mengandung pengertian, “Tanzihkan-lah Dia”, sedangkan firmannya, wahua samii’ul bashiir, mengandung pengertian, “Tasybihkan-lah Dia”. Dengan demikian, firman Allah laisa kamitslihi syaiin wahua samii’ul bashiir mengandung pengertian, Tasybihkan-lah Dia dan jadikannlah dualitas, dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis”.[9] Dari kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya persamaan. Di samping itu, jika kita merujuk pada definisi penteisme yang telah dirumuskan oleh Norman L. Geisler yang menyatakan tidak ada pencipta di luar alam, wahdat al-wujud menurut konsep Ibn Arabi tidak dapat dikatakan sama dengan panteisme, sebab Ia masih mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya, mazhar asma dan sifat-sifatnya. Ajaran kedua dari Ibn Arabi adalah Haqiqah Muhamadiyyah. Dari konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep tersebut, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama). Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta adapun proses penciptaannya adalah sebagai bertikut: 1. Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah. 2. Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani kea lam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad. 3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir. 4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal(ide) atau khayal. 5. Alam materi, yaitu alam indrawi.[10] Penjelasan berikutnya dari Ibn Arabi mengenai proses kejadian penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran tersebut sebagai berikut; Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana yang dikemukakan di atas. Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihili). Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada para nabi semenjak Adam sampai Muhamad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan person-person insane kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyyah tersebut dengan Quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.[11] Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibn Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Konsekwensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal, Ibn Arabi Mengemukakan dalam sya’irnya, “Kini kalbuku bisa menampung semua ilalang perburuan kijang atau biara pendeta. Kuil pemuja berhala atau Ka’bah. Lauh Taurah dan mushaf Al-Quran. Aku hanya memeluk agama cinta kemana pun kendaraan-kendaraanku menghadap. Karena cinta agamaku dan imanku.[12] Para penulis berpendapat bahwa, Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain, dengan ungkapan lain paham ini menyimpang dari Islam. 2. Al-Jili (1365-1417)[13] Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Bagdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[14] a. Ajaran Tasawuf Al-Jili - Insan Kamil Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan adam dalam bentuk yang Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.” Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[15] Melaui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil. Labih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan al-afdhal (yang paling utama). Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah(nuktah Al-Haqq) melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhamad SAW. Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW. - Maqamat (al-Martabah) Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah: Pertama, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan memtaati syariat Tuhan dengan baik. Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas. Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ‘ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi. Keenam, shiddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut Al-Jili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya. Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan. Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui dzat yang Mahatinggi itu secara kasyaf Ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia dihapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya.[17] Dengan pernyataan ini, kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya. 3. Ibn Sab’in a. Biografi Singkat Ibn Sab’in dan Karyanya Nama lengkapnya Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhamad Ibn Nashr, seorang sufi dan juga filosaof dari Andalusi. Ia di panggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin. Dan dikenal pula dengan Abu Muhamad dan mempunyai asal-usul Arab, dan dilahirkan tahun 614 H(1217/11218M) di kawasan Murcia. Dia mempelajari bahasa Arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Ia mengemukakan gurunya bahwa diantara guru-gurunay adalah Ibn Dihaq, yang dikenal juga dengan Ibn Al-Mir’ah. [18] Ibn Sab’in tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan, hidupnya dalam suasana penuh kemuliaan dan berkecukupan tetapi beliau menjauhi kesenangan hidup kemewahan dan kepemimpinan duniawi, lalu hidup sebagai asketis maupun sufi yang mempunyai banyak murid. Ibn Sab’in meninggalkan karya yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis. Sebagian karyanya hilang dan sebagaian risalahnya telah di sunting Abdurrahman badawi dengan judul Rasa’il Ibn Sab’in (1965 M.) dan karya yang lainnya; Jawab Shahih Shiqilliyah, telah disunting oleh Syarifuddin Yaltaqiya. Dapat terlihat jelas dari karyanya beliau tampak berpengetahuan yang sangatlah luas dan beraneka. Dia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani dan faisafat-filsafat Hermetitisme, Persia dan India, selain itu dia juga banyak menelaah karya-karya filosof-filosof Islam dari dunia Islam bagian Timur, seperti Alfarobi dan Ibn Sina, dan filosof bagian Barat seperti Ibn Bajah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Dan dia menguasai kandungan risalah-risalah Ikhwanul Ashafa, dan secara rinci mengetahui aliran Teologi, khususnya aliran sy’ariyah. Ibn Sab’in mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat As-Sab’iniyyah. Para pengikutnya memakai pakaian khusus yang dikecam para fuqaha, dan tarekat ini mempunyai sanad yang aneh. Asy-Susytari mengemukakan bahwa dalam sanad tersebut terdapat antara lain Hermes, Socrates, Plato, Aristoteles, Iskandar Agung, Al-Hallaj, An-Niffari, Al-Habsyi,Qadhi serta Ibn Sab’in sendiri. Dari sini kita dapat memperoleh gambaran bahwa tarekat tersebut bercorak sinkretis dan mengompromikan berbagai aliran, yang diantaranya bercorak Islam, Yunani, dan Timur kuno. Tampaknya tarekat ini bertahan sampai masa Ibn Taimiyyah (meninggal pada tahun 728H).[20] Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa Ibn sab’in sangat berkiblab pada filusuf barat. c. Ajaran Tasawuf Ibn SAb’in 1. kesatuan Mutlak Ibn Sab’in menggagas sebuah faham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak, gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni -atau menguasai- menurut terminologi Ibn Sab’in pun, hampir tidak mungkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material. Pemikiran Ibn Sab’in ini mengambil rujukan dari Al-quran, yang diinterpretasikan secara filosofis ataupun khusus. Misalnya firman Allah ”Dia itulah Yang Awal dan Yang Akhir, yang dzahir dan yang Batin.”(Q.S.Al-Hadid ; 3) dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (Q.S Al-Qashas :28) terkadang dia memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di antarnya dengan hadis Qudsi, “Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Maka firman Allah kepadanya, terimalah! Ia pun menerimanya…”. Namun Ibn Taimiyah menolah menolak dan mengecam keras pendapat Ibn Sab’in tentang kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa interpretasi Ibn Sab’in terhadap nash-nash agama tidaklah benar. Begitu juga dengan hadits qudsi yang digunakan adalah hadis maudu’. Paham kesatuan mutlak Ibn Sab’in ini mirip dengan paham “hakikat Muhamad” ataupun “Qutb” dari sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn Arabi dan Ibn Al-Faridh, atau paham “manusia Sempurna” dari Abdul karim Al-jalili. Menurut Ibn Sab’in pencapaian kesatuan mutlak adalah individu yang paling sempurna. Sempurna yang dimiliki seorang fuqaha, teolog, filosof, maupun sufi. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus, yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian, sosok pribadi yang dari segi hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang mengendalkan semesta; dan segala sesuatu pun didasarkan padanya. b. Penolakan terhadap Logoka Aristotelian Paham tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristetelian. Terbukti dalam karnyanya Budd Al-Arif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatf, sebagai pengganti logika yang berdaasarkan pada konsefsi jamak, Ibn Sab’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan penalaran, tetapi termasuk tembusan Ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengarnya. Dengan demikian logika tersebut bercorak intuitif. Kesimpulan penting dari logika Ibn Sab’in tersebut adalah realitas-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah dan keenam kata logika (gebus, species, difference, proper, accident, person) yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka, begitu juga dengan kesepuluh kategori, sekalipun berbeda dan beraneka, tetap merujuk pada wujud tunggal yang mutlak. Studi Kritis Paham Tasawuf Falsafi 1. Aspek Sumber Ajaran Ibrahim Hilal menyatakan, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh filsafat Plato dan Plotinus, seperti wujud, alam semesta atau makrifat.[21] Begitupun Ibn Masarrah (tokoh pertamaa tsawuf falsafi) telah menganut paham emanasi yang serupa dengan Plotinus.[22] Senada dengan pendapat tersebut, analisa lain menyatakan, ungkapan Neo-Platoisme, misalnya “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, kemudian diambil oleh para sufi (termasuk sufi falsafi) menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya”,[23] hal ini bisa jadi mengarah pada munculnya teori hulul, wahdah asy-syuhud dan wahdah al-wujud.[24] Jika demikian faktanya, seyogyanya kita merenungi sebuah riwayat, ketika Rasulullah saw. memarahi Umar Ibn al-Khattab ra., karena kedapatan membawa sobekan taurat, waktu itu beliau saw. bersabda: مَا هَذَا أَلَمْ آتِ بِهاَ بَيْضَاءَ نَقِيَّةً؟ لَوْ أَدْرَكَنِي أَخِي مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي “Apa yang kamu bawa ini, bukankah aku telah membawa (al-Qur’an) yang jelas dan jernih? Kalau seandainya saudaraku Musa as. hidup pada zamanku, tentu beliau tidak akan susah-susah lagi, kecuali mengikutiku.” (HR. Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam)[25] Dalam hadits ini dapat dipahami, umat Muhammad saw. wajib mengikuti tuntunan Rasulullah saw. dan al-Quran. Jika Musa as. saja mesti mengikuti Rasulullah saw. apalagi umatnya. Sedangkan celaan yang dialamatkan kepada Umar ra. menunjukan larangan yang bersifat pasti (haram). Artinya umat Islam haram mengambil sumber pemikiran dari peradaban lain jika perkara tersebut sudah terdapat dalam sumber hukum Islam, hal ini di isyaratkan dengan ungkapan “bukankah aku telah membawa al-Qur’an“. Karena itu, dari aspek sumber pemikiran, tasawuf falsafi melakukan kesalahan, karena mengambil sumber teori tasawuf dari filsafat yunani. Maka dapat dikatakan teori tasawuf sunni sedikit lebih baik, karena mengambil teori tasawuf masih dalam sumber Islam, baik al-Quran maupun as-Sunnah, sedangkan tasawuf falsafi –walaupun terkesan orisinal dengan istilah-istilah sufi– telah mengambil sumber yang bukan berasal dari Islam, meskipun mereka pada akhirnya selalu mencoba menjustifikasi teori falsafinya dengan dalil atau hadits. 2. Aspek Pemikiran Berbagai paham dalam tasawuf falsafi selalu dipresentasikan dalam ungkapan-ungkapan ganjil dan aneh (syathahat) yang meresahkan umat Islam. Karena itu wajar jika para fuqaha merasa gelisah sehingga mengeluarkan berbagai kritik bahkan kecaman serius terhadap para sufi falsafi.[26] Islam adalah agama yang mudah untuk diamalkan, bukan untuk elit-elit tertentu, ajarannya universal bagi seluruh manusia, karena itu Rasul saw. bersabda: إِنَّ دِيْنَ اللهِ فِي يُسْرٍ ثلاثًا يَقُولُهَا Sesungguhnya Agama Allah itu mudah (diamalkan), beliau mengucapkannya sampai tiga kali. (HR. Ahmad)[27] يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا Mudahkanlah oleh kalian (pengajaran agama ini), jangan kalian buat sulit; Dan berikanlah kabar gembira, jangan engkau buat orang-orang menghindar dan menjauh. (HR. Bukhari)[28] Disini terlihat bahwa, ungkapan dan isyarat yang digunakan para sufi falsafi bertentangan dengan ke-universalan Islam itu sendiri, shalih likulli zaman wal makan, yang pada gilirannya akan menimbulkan fitnah ditengah umat Islam.[1] Begitupun dengan maqamat (al-martabah), yang mesti dilalui oleh para sufi,[2] semua martabah hanya bersifat individualistis, bisa jadi akan menyebabkan Agama Islam menjadi jumud dan tidak bisa menyelesaikan persoalan hidup yang kian hari kian kompleks. Bahkan sebagian sufi falsafi selalu meremehkan para fuqaha dengan keilmuannya, para sufi falsafi menyebut para fuqaha dengan sebutan ahli ilmu kertas (tekstualis), sedang mereka memuji-muji ilmu laduni. Padahal ejekan para sufi falsafi tersebut bertentangan dengan hadits Rasul saw.: “Ikatlah ilmu dengan tulisan“.[3] ________________________________________ [1] Misal ucapan yang bisa menimbulkan fitnah: “Hamba adalah tuhan, dan Tuhan adalah hamba“, juga tentang Insan Kamil sebagai duplikat Tuhan, hal ini bisa mengarah pada pengkultusan sebagian sufi falsafi yang berimplikasi pada syirik. [2] Misal maqamat yang dicetuskan Al-Jili (1417 M), 1.Islam; 2. Iman; 3. Shalah; 4. Ihsan; 5. Syahadah; 6. Shiddiqiyah; 7. Qurbah; begitupun dengan maqam para sufi falsafi yang lain. [3] Ibrahim Hilal, at-Tashawwuf al-Islami … hlm. 187 [1] Ibir hal 193 [2] Annemarie Schimmel,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar