Selasa, 01 November 2011

Tasawuf dlam pandangan ibnu taimiyah dan hasan al-banna.

Tasawuf dlam pandangan ibnu taimiyah dan hasan al-banna. Telah sering kita mengangkat pembicaraan mengenai tasawuf. Dan telah muncul banyak versi dan persepsi mengenai tema ini. Terhitung sejak kemunculannya yg pertama hingga sekarang ini tak terhitung lagi kelompok/aliran yg mengidentifikasi dirinya sebagai ahli tasawuf. Sehingga makin kaburlah pemahaman dan kebenaran pun semakin sulit dilacak. Sampai akhirnya munculla dua kelompok yg sama-sama ekstrem dalam hal menyikapi tasawuf ini. Satu kelompok adl mereka yg memuji secara berlebih-lebihan kelompok yg lain mencerca dan mencela habis-habisan. Untuk itu mendesak kiranya bagi generasi ini utk menjernihkan duduk perkara dan mengembalikan segala sesuatunya pada tempat semula. Di antara cara yg paling selamat adl dgn cara kita mengambil pendapat dari para ulama yg ahli dalam masalah ini serta mempunyai integritas dan otoritas keilmuan yg sekiranya dapat dipertanggungjawabkan.Berikut akan kita simak pendapat dua imam mengenai masalah ini. Pendapat Ibnu Taimiyah Tasawuf muncul pertama kali di Basrah. Syaikhul Islam pernah berkata “Pertama kali muncul tasawuf itu di Basrah. Sedang orang yg pertama kali membangun tasawuf adl shahabat-shahabat Abdul Wahid bin Zaid. Beliau sendiri adl salah satu dari shahabat Hasan. Ketika itu di Basrah ada fenomena ekstrem dalam hal zuhud ibadah khauf dan sebagainya yg tidak ada bandingannya selama ini.” . Syaikhul Islam telah mengambil pendapat terkuat mengenai penamaan tasawuf yakni berasal dari pakaian yg bernama shuf. Seputar Kerancuan Tasawuf Bermula dari sekelompok orang yg ingin menjalani kehidupan ini dgn sikap zuhud. Mereka begitu berlebihan dalam memahami dan memraktikkan semua ini sehingga melahirkan perilaku yg tidak pernah dikenal pada zaman shahabat generasi pertama Islam tidak juga pada masa tabi’Imam Nasa’i. Memang diantara mereka ada yg tetap istiqamah dan bersikap tawazun namun banyak juga yg berlebihan. Diantara mereka ada yg mukhlish ada juga yg dusta. Ada yg alim dan takwa ada pula yg jahil. Oleh karenanya tumpang tindihlah antara pujian disatu sisi dan celaan di sisi yg lain. Syaikhul Islam berkata “Orang-orang berselisih pendapat mengenai tasawuf. Sebagian mencela tasawuf seraya berkata Mereka adl ahli bid’ah yg telah keluar dari Sunnah. Dari para imam yg mewakili kelompok ini kita dapatkan banyak fatwa yg kemudian banyak diikuti oleh kelompok lain terutama dari kalangan ahli fiqh dan ilmu kalam. Sementara kelompok yg lain memujinya secara berlebihan seraya mengatakan bahwa ahli tasawuf adl makhluk yg paling mulia danpaling sempurna setelah Nabi.” . “Apa yg dikemukakan kedua kelompok di atas sama-sama tercelanya. Yang benar adalah Mereka itu orang-orang yg taat kepada Allah sebagaimana para ahli taat lainnya. Ada sebagian mereka yg ada di depan krn kesungguhan ketaatannya dan ada juga yg cukupan. Selain dari keduanya ada juga orang yg berusaha namun jatuh dalam kekeliruan sehingga banyak berbuat dosa. Sedangkan diantara orang-orang yg menisbatkan diri kepada golongan mereka ada yg menganiaya diri sendiri dan suka berbuat maksiat kepada Rabbnya.” . Tasawuf Hakekatnya Baik Beliau menjelaskan bahwa tasawuf itu asalnya baik. Ia berakar dari sikap zuhud ibadah tazkiyatun nafs shidiq dan ikhlas. Tasawuf bagi mereka memiliki beberapa prinsip yg telah dikenal yg telah jelas batas-batas dan asal-uslnya. Seperti yg mereka katakana bahwa shufi adl orang yg bersih dari kotoran dan sarat dgn muatan piker. Baginya sama saja antara emas dan batu. Tasawuf juga berarti menyembunyikan ma’na dan menghindari pengakuan manusia atau yg semisalnya. Mereka menghendaki dari ma’na tasawuf itu shidiq. . Lambat laun bergeserlah kesucian pemahaman dan konsep dasar ini kepada pemahaman yg juz’iyah dan rancu. Masuklah orang-orang atau kelompok yg menisbatkan sebagai shufi namun menyimpang dari prinsip semula. Mulailah praktek bid’ah dan khurafat masuk di dalamnya. Yang bahkan diingkari sendiri oleh tokoh-tokoh yg lurus di antara mereka sendiri. Beberapa kalangan dari ahli bid’ah dan zindiq telah menisbatkan dirinya pada tasawuf namun dikalangan tokohnya yg lurus mereka tidak dianggapnya. Seperti Al-Hallaj misalnya banyak dari tokoh tasawuf yg mengingkarinya dan mengeluarkannya dari shaf mereka. Juga Junaid bin Sayyidut Thaifah dan lain sebagainya sebagaimana tersebut dalam kitab Thabaqat Shufiyyah oleh Syaikh Abu Abdir Rahman as-Sulami?. Maka secara garis besar tasawuf terbagi dua Tasawuf Ahli Ilmu dan Istiqamah Tokoh-tokohnya adalh Fudhail bin Iyadh Ibrahim bin Adham. Abu Sulaiaman ad-Darani Ma’ruf al-Karkhi. Junaid bin Muhammad Sahl bin Abdullah at-Tastari dan lain sebagainya. Semoga Allah memberikan ridha-Nya kepada mereka. Tasawuf Filsafat Bid’ah dan Zindiq Tasawuf serupa ini yg memunculkan ajaran-ajaran aneh semisal wihdatul wujud hulul dan ittihad . Do’a al-amwat mendakwakan diri tahu hal ghaib dan sebagainya yg nyata-nyata bertentangan dgn syari’at. Pendapat Imam Syahid Imam Syahid adl mujahid sekaligus mujaddid besar abad ini. Beliau seorang yg tegas dan keras dalam menyikapi penyelewengan dalam masalah din. Namun kelembutan hati dankemuliaan akhlak beliau menjadikan ketegasan itu sesuatu yg bijaksana. Bahkan sangat bijaksana sehingga beliau dicintai sekaligus disegani oleh semua kalangan. Melengkapi itu semua beliau juga seorang yg alim sehingga semua pendapat dan pendiriannya atas dasar ilmu dan hujjah yg jelas sehingga tidak menyeleweng dari syari’at. Beliau mema’nai tasawuf dalam kerangka ma’na yg shahih sesuai Al-Kitab dan Sunnah. Beliau memuji hal-hal yg patut dipuji dan mencela sesuatu yg memang tercela. Bersama jamaah yg dirintisnya beliau menjadikan tasawuf sebagai bagian yg tidak terpisahkan dari bangunan Islam yg syamil. Tercermin dari doktrin yg beliau pancangkan bahwa jamaah ini merupakan Da’wah Salafiyyah. Karena dia mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnahserta menjadikan salafus shalih sebagai sumber keteladanan. Thariqah Sunniyah. Karena dia akan membawa kepada beramal sesuai dgn bimbingan sunnah dalam segala hal khususnya dalam aqidah dan ibadah. Hakekat Shufiyyah. Karena mereka mengetahui bahwa asaskebajikan adl kebersihan jiwa kesucian hati kemurnian niat melatih amal cinta kepada Allah dan mengikatkan diri pada kebaikan. Hai’ah Siasiyyah. Jama’ah riyadhiyah. Rabithah Ilmiyah Tsaqafiyah. Syirkah Iqtishadiyah dan seterusnya. Tasawuf dan Jihad Tasawuf tidaklah identik dgn ketidakpedulian terhadap dunia luar dan meninggalkan jihad. Bahkan tokoh-tokoh besar dari tasawuf yg lurus sepanjang sejarah banyak terlibat dalam jihad fi sabilillah. Untuk melengkapi pembicaraan ini baiklah saya kemukakan dihadapan anda semua bahwa kaum Muslimin sepanjang masa tidak pernah lepas dari jihad. Baik ulama para shufi dan anggota masyarakat yg lainnya. Sebutlah misalnya Abdullah bin Mubarak. Seorang ulama yg faqih zuhud dan ahli ibadah. Sebagian besar dari umur beliau adl digunakan utk berjihad. Juga tokoh shufi Abdul Wahid bin Zaid seorang shufi besar yg zuhud. Ada lagi Syaqiq al Bakhla Syaikh shufi yg menggerakkan murid-muridnya mengangkat senjata dalam jihad. Ada pula al-Badrl ‘Aini pensyarah ShahihBukhari yg faqih dan ahli hadits. Dia mengajar setahun berperang setahun dan berhaji setahun?Juga Imam Syafi’i yg masyur itu. Beliau adl ahli melempar. Demikian para salafush shalih pendahulu kita?. Salah seorang pelopor tasawuf adl Imam Hasan al Bashri. Yang menyeru kepada dzikrullah dzikrul maut tazkiyatun nafw. Dan sikap zuhud menuju taat dan takwa kepada Allah. Itulah satu bentuk aliran tasawuf yg beliau menamakan sebagai ilmu tarbiyah was suluk . Tidak disangsikan lagi bahwa ini termasuk bagian inti dari ajaran Islam. Dan harus diakui bahwa tasawuf semacam ini telah berhasil mengobati penyakit kejiwaan sampai batas yg tidak dapat dicapai oleh cara selainnya. Kalaupun kemudian muncul sikap-sikap berlebihan maka dia adl tasawuf yg tersesat. Dan diakui memang hal demikian telah banyak terjadi bahkan tasawuf juga telah tercemar oleh filsafat dan logika yg menyesatkan. Kita prihatin terhadap yg demikian tanpa harus menutup mata dari kebaikan-kebaikan yg ada. Imam Syahid Seorang Sufi Sekiranya kita bersepakat utk memaknai tasawuf dalam ma’nanya yg lurus maka akan kita dapatkan bahwa Imam Shahid adl salah seorang ahlinya. Sebagian umur beiau telah dilewatkan sebagai anggota sebuah aliran sufi yg bernama Thariqah al-Hashifiyah. Untuk itu biarlah beliau sendiri menceritakanihwalnya. “Saya secara rrutin mengamalkan wazhifah ar-Ruzuqiyah . Dan saya juga mendapatkan ayah saya menyusun hal serupa dgn menunjukkan dalil-dalil yg keseluruhannya diambil dari Kitabullah dan Sunnah yg shahih. Tidak ada di sana kalimat yg aneh-aneh ungkapan filsafat atau lainnya yg tidak mengandung do’a.” . selanjutnya beliau juga bercerita tentang Syaikh Hasanain al Hashaf sebagai pendirinya serta bagaimana pola dakwahnya. “Suatu saat Syaikh mengunjungi seorang yg bernama Basya dia seorang Perdana Menteri. Kemudian masuklah seorang ulama memberi salam kemudian membungkuk sampai hampir seperti ruku’. Maka bangkirlah Syaikh dgn marah dan memukul kedua pipi ulama tersebut dgn keras seraya berkata “Hai berdirilah! Sesungguhnya ruku’ itu tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah. Janganlah engkau menghinakan agama dan ilmu supaya engkau tidak dihinakan Allah.” Dan tidak sepatah katapun terucap kala itu baik dari sang alim maupun dari Perdna Menteri. Pada saat yg lain beliau menunjungi masjid Husain dgn sebagian muridnya. Ia berdiri di atas kubur membacakan do’a-do’a ma’tsur. Kemudian salah seorang muridnya berkata “Ya Syaikh mintalah kepada Sayyidina Husain agar dia meridhai saya.” Serta merta dgn marah beliau menjawab “Yang meridhao saya kamu dan dia hanyalah Allah.”Inilah dia thariqah yg lurus jauh dari segala penyimpangan terhadap syara’. Di sini pulalah telah ditanam dan dibesarkan jiwa dan akhlak Imam Syahid. Akhirnya jelaslah bagi kita bahwa kedua Imam lagi-lagi bertemu pemahaman dalam masalah tasawuf ini. Keduanya berpihak kepada pemahaman dan perilaku yg lurus dalam masalah ini. Serta menyeru utk menjauhi segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan dari patokan yg ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Maka marilah kita pun memahami permasalahan sebagaimana pemahaman kedua beliau. Semoga ampunan dan rahmat Allah atas keduanya. Amin. Diadaptasi dari Kitab “Ma’an ‘Ala Thariqid-Da’wah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wa Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna.” Oleh Muhammad FajriSumber Majalah Almuslimun No. 311 Tahun. XXVI Ramadhan/Syawal 1416 H Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia sumber file al_islam.chm tasawuf sunni pemikiran dan tokoh- tokohnya A. Aliran Tasawuf Sunni Tasawuf sunni merupakan aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa salaf as-shalihin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan. Aliran tasawuf ini memiliki ciri yang paling utama yaitu kekuatan dan kekhusyu’annya beribadah kepada Allah, dzikrullah serta konsekuen dan juga konsisten dalam sikap walaupun mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi. Dari awal prosesnya, corak tasawuf ini muncul dikarenakan ketegangan-ketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama’ zahir baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan usaha-usaha untuk mengmbalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan ditangan Ghozali, yang kemudian melahirkan Tasawuf Sunni. Ada pendapat yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah cikal bakal timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya adalah ajaran Islam, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, sunnah maupun kehidupan sahabat nabi. Pengertian umum dari Zuhud sendiri adalah Zuhhaad, jamak dari zahid. Zahid diambil dari Zuhd yang artinya ”tidak ingin”. Tidak “demam” kepada dunia, keemegahan, harta benda dan pangkat. Menurut Abu Yazid Busthami ketika ditanya orang apa arti zuhud itu, beliau menjawab: tidak mempunyai apa-apa dan tidak dipunyai apa-apa. Gerakan asketisme itu sendiri dapat dibedakan menjadi 4 aliran utama; 1. Aliran Bashroh Aliran Bashroh mulai Nampak pada abad kedua Hijriyah. Aliran ini muncul dengan ciri khasnya yaitu, sikap asketisme yang sangat kuat dan lebih ekstrim serta mengembangkan sikap yang amat takut terhadap murka Allah, serta amat sangat takut terhadap siksa diakhirat. Pada periode inilah, mulai meluas dan berkembangnya sufisme. Artinya konsep-konsep yang tadinya semata-mata sebagai sikap hidup saja kemudian disusun sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Tokoh terpenting dari aliran ini. Antara lain; Malik Ibnu Dinar dan Hassan Al-Bashri. 2. Aliran Madinah Sejak masa permulaan Islam, di Madinah sudah terlihat kelompok-kelompok asketis yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah dan menempatkan rosulullah sebagai idola kezuhudan mereka. Ciri yang paling utama di aliran ini adalah kekuatan dan kekhusyu’an beribadah kepada Allah, konsekuen serta kensisten dalam sikap walaupun dating berbagai godaan. Bagi mereka yang terpenting bagi mereka adalah mendepatkan diri kepada Allah serta menjauhkan diri dari segala hal yang dapat mengurangi kekhusyu’an beribadah kepada Allah. Tokohnya yang terkenal diantaranya adalah Salman Al-Farisi dan Abdullah Ibnu Mas’ud. 3. Aliran Kuffah Apabila kedua aliran diatas lebih mengarahkan perhatian kepada ibadah dan menghindari pengaruh-pengaruh yang merusak. Maka, aliran Kuffah lebih bercorak idealis. Gemar kepada hal-hal yang bersifat imajinatif yang biasanya dituangkan dalam bentuk puisi, tekstualis dalam memahami ketetapan dan sedikit cenderung kepada aliran syi’ah. Namun, secara keseluruhan aliran ini masih berpola Ahlu sunnah wal jama’ah. Ciri khas aliran ini yaitu rasa keagamaan yang kental, asketisme yang keras, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup. Tokohnya yang terkenal yaitu, Shufyan Al-Tsauri. 4. Aliran Mesir Aliran mesir memiliki kesamaan cirri dengan aliran madinah. Sebab aliran ini sebenarnya adalah perluasan dari aliran madinah yang tersebar melalui sahabat yang ikut serta ke Mesir pada saat Islam memasuki kawasan itu. Tokohnya adalah Dzuu al-Nun al mishri. Sulit dipastikan kapan asketisme itu beralih ke sufisme, tetapi yang pasti sufisme yang awal adalah sufisme yang konsisten dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Karena itu tasawuf tipe awal ini dapat diterima sebagian besar ulama terutama ulama ahlu sunnah wal jama’ah. Hal ini pula yang menyebabkan penamaan tasawuf sunni. Dari aliran-aliran diatas dapat dilihat bahwa tokoh-tokoh aliran-aliran tersebut adalah ahlu zuhud. Namun tidak setiap yang zuhud bias disebut sufi, tapi sebaliknya tidak mungkin menjadi sufi tanpa melalui zuhud atau asketisme. B. Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni Munculnya aliran-aliran tasawuf ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Begitu juga sama halnya dengan Tasawuf sunni. Diantara sufi yang berpengaruh dari aliran-aliran tasawuf sunni dengan antara lain sebagai berikut: 1. Hasan al-Basri Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura. Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di sana sampai ia meninggal tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian disana karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Garakan itulah yang menyebabkan Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’. Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi. Dr. Muh. Mustofa Helmi, guru besar filsafat Islam dalam “Fuad I University” mengatakan kemungkinan bahwasanya zuhud Hasan al-Bashri yang didasarkan kepada takut, ialah karena takut akan siksa Tuhan dalam neraka. Hasan al-bashri mengumpamakan dunia ini seperti ular terasa mulus kalau disentuh tangan tetapi racunnya dapat mematikan. Oleh karena itu, dunia ini harus dijauhi serta kenikmatan hidup duniawi harus ditolak. Dasar-dasar ajaran zuhud ini kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh tasawuf yang datang kemudian dengan beberapa perbedaan sesuai dengan pengalaman serta kemampuan pribadi para sufi itu sendiri. Diantaranya ada yang memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, tekun beribadah, berdzikir, merenungkan kebesaran tuhan, mencari kelemahan diri, memikirkan dan memperhatikan keindahan alam semesta. Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melalakikan perintahNya. Serta menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar selalu memikirkan kehidupan yang akan dating yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi. Hasan al-Bashri berkeyakinan bahwa perasaan takut atau khouf itu sama dengan memetik amal sholeh. Katanya tidak seorang manusiapun yang tidak pernah merasa takut dan keluh kesah. Kesimpulan dari ajaran Hasan al-Bashri ialah zuhud atau menjauhi kehidupan duniawi sehingga perhatian terpusat pada kehidupan dunia akhirat dan mawas diri dan selalu memikirkan kehidupan ukhrowi adalah jalan yang akan menyampaikan seseorang kepada kebahagiaan yang abadi. Hasan al-Basri merupakan pribadi yang cemerlang dan suri tauladan yang benar bagi akhlak luhur, setelah dalam kesucian dan kejernihannya. Beliau selalu menyiarkan kemuliaan yang tinggi dengan petuahnya yang berpengaruh dan ucapannya yang mantap, serta suluk-nya yang dijadikan sebagai contoh. Meskipun begitu, Hasan al-Basri bukanlah seorang sufi, dalam arti yang tepat pada kata shufi. 2. Rabiah Al-Adawiyah Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal Al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana. Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah al-mahabbah dan bahkan menurut menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Hal ini barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah: Kasihku, hanya Engkau yang kucinta, Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu, Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau, Namun mata hatiku memandang-Mu selalu. Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia mambagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepad Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi mealui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”. Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan. Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rabi’ah al-Adawiyah berkeluh-kesah sakit. Dan beberapa sufi menjenguknya, dan Rabiah mengira bahwa sakitnya itu dikarenakan ghirah atau kecemburuan Allah kepadanya, karena hati Rabiah pada saat itu tertarik akan surga. 3. Dzu Al-Nun Al-Misri Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri al-Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih banyak orang yang belum mengungkapkan masalah ini. Namun demikian telah disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang tersohor dan tekemuka diantara sufi-sufi lainnya pada abad 3 Hijriah. Sebagia seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama Hadits dan Fiqih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal yang menarik keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitif barangkali yang menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang menuduhnya sebagai orang yang zindiq, sampai pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk sementara waktu pergi dari negerinya dan berkelana ke negeri lain. Namun sekembalinya dari perkelanaan tersebut, orang banyak tetap menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Bahkan orang-orang menuruhnya untuk pergi ke Baghdad menemui khalifahuntuk menerima pengadilan. Akan tetapi di Baghdad ada banyak sufi yang berasal dari mesir dan diantara mereka ada yang bekerja sebagai pegawai di lingkungan istana, dan merekalah yang mengusahakan kebebasan Dzu al-Nun tersebut. Ternyata kemudian ajarannya diterima di Baghdad. Sekembalinya di Mesir, ia kembali mengjarkan ajaran tasawufnya dan semenjak itu pula tasawuf berkembang dengan pesat di kawasan mesir. Jasa-jasa Dzu al-Nun yang paling besar adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat. Ajarannya member petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi. Disamping itu, dia juga pelopor doktrin al-makrifah. Dalam hal ini ia membedakan antara pengetahuan dengan keyakinan. Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil pengamatan inderawi, yaitu apa yang ia dapat diterima melalui panca indera. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang dipikirkan dan / atau diperoleh melalui intuisi. Dia membagi tiga kualitas pengetahuan, yaitu: 1. Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat. 2. Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti dan pendemonstrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orangyang bijak, pintar dan terpelajar. 3. Pengetahuan tentang sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik orang-orang yang shaleh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata hatinya. Ketika Dzu al-Nun ditanya tentang bagaimana ia mengenal Tuhan, maka dia menjawab: “Aku mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena Tuhan, aku tidak akan mengenal Tuhan” Dzu al-Nun menerangkan, bahwa cirri-ciri makrifat itu ialah seseorang menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allah dan memutuskan segala sesuatu itu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi segala sesuatu hanya semata-mata karena Allah. Ucapan hikmah lain dari Dzu al-Nun al-Mishri adalah: “Pangkal pembicaraan pada empat hal: Mencintai Allah Yang Maha Agung, membenci kekikiran, mengikuti Al-Qur’an, dan takut berubah.” Dzun al-Nun al-Mishri Rahimahumullah pun pernah berkata, “Al-Hikmah tidak akan pernah tinggal pada seseorang yang pada perutnya penuh dengan makanan.” Pernah juga ditanya tentang tobat, lalu dijawab, “Tobat orang awam adalah perbuatan dosa, sedangkan tobat orang khusus dari kelengahan.” 4. Abu Hamid Al-Ghazali Menurut Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, ada dua corak tasawuf yang berkembang di kalangan sufi, yaitu pertama, corak tasawuf sunni, di mana para pengikutnya memagari tasawuf mereka dengan Alquran dan as-Sunnah serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya. Kedua, corak tasawuf semi-filosofis, di mana para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terhadinya penyatuan ataupun hulul. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Simuh dengan menggunakan istilah yang berbeda. Simuh menyatakan bahwa pada dua corak tasawuf yaitu union mistik dan personal/transendentalis mistik. Union mistik yaitu suatu corak tasawuf yang memandang manusia bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhannya. Sedangkan personal/transendentalis mistik yaitu suatu corak tasawuf yang menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada paham ini hubungan manusia dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara makhluk dengan khalik Dari dua corak tasawuf tersebut, menurut Abdul Qadir Mahmud, al-Gazali masuk pada kelompok yang memiliki corak tasawuf sunni, bahkan di tangan al-Gazali lah tasawuf sunni mencpai kematangannya. Mahmud berpendapat, para pemimpin sunni pertama telah menunjukkan ketegaran mereka menghadapi gelombang pengaruh gnostik barat dan timur, dengan berpegang teguh pada spirit Islam, yang tidak mengingkari sufisme yang tumbuh dari tuntunan Alquran, yang membawa syariat, juga yang menyuguhkan masalah-masalah metafisika. Mereka mampu merumuskan sufisme yang islami dan mampu bertahan terhadap pelbagai fitnah yang merongrong aqidah Islam di kalangan sufirme. Sufisme sunni akhirnya beruntung mendapatkan seorang tokoh pembenteng dan pengawal bagi spirit metode Islami yaitu al-Gazali, yang menempatkan syariat dan hakikat secara seimbang. Di tangan al-Gazali tasawuf menjadi halal bagi kaum syariat, sesudah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam. Konsepsi al-Gazali yang mengkompromikan antara pengalaman sufisme dengan syariat telah dijelaskan di dalam kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Karya besar ini terdiri dari 4 jilid. Jilid pertama dan kedua berisi ajaran syariat dan aqidah disertai dasar-dasar ayat-ayat suci Alquran serta hadis dan penafsirannya. Dibahas pula bagaimana tingkat-tingkat pengamalan syariat yang sempurna lahir batin. Pada jilid ketiga dan keempat, khusus membahas tasawuf dan tuntunan budi luhur bagi kesempurnaan sebuah pengamalan syariat. Dimulai dengan membahas keajaiban hati beserta nafsu-nafsu, amarah, lawwamah dan mutmainnah yang ketiganya saling berebut untuk menguasai batin manusia. Kemudian dilanjutkan tantang ajaran jihad akbar untuk memerangi dan menguasai nafsu amarah dan lawwamah, yakni ajaran tentang penyucian hati yang dalam ajaran tasawuf diartikan memutuskan setiap persangkutan dengan dunia, dan mengisi dengan sepenuh hati hanya bagi Tuhan semata. Kemudian dilanjutkan tentang cara mengkonsentrasikan seluruh kesadaran untuk berzikir kepada Allah. Hasil dari zikir adalah fana dan ma’rifat kepada Allah. Dengan demikian, corak tasawuf al-Gazali lebih menekankan pada aspek pendidikan moralitas bagi para pencari kebenaran. 4.1 Maqamat-maqamat dalam Tasawuf al-Gazali Maqamat-maqamat yang diajarkan oleh al-Gazali terdapat di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, khususnya juz IV. Di dalam bagian tersebut diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut: Kitab al-Taubah, Kitab al-Sabr wa al-Syukr, Kitab al-Khauf wa al-Raja, Kitab al-Faqr wa al-Zuhd, Kitab Tauhid wa al-Tawakkal, Kitab al-Mahabbah wa al-Syauq qa al-Uns wa al-Ridha, Kitab al-Niyyah wa al-Ikhlas wa al-Sidq, Kitab al-Muqarabah wa al-Muhasabah, Kitab al-Tafakkur, dan Kitab Zikr al-Maut wa Ba’dah. Maqamat-maqamat ini menjelaskan beberapa point yang dianggap penting untuk memahami konsep tasawuf yang diajarkan oleh al-Gazali, di antaranya: Konsep taubat, zuhud, tawakkal, dan ma’rifah. a. Taubat Pemahaman tentang taubat, menurut al-Gazali mencakup tiga hal: Ilmu, sikap (hal), dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahawa yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal, yang melahirkan tindakan untuk bertaubat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri seindiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa. b. Zuhud Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Al-Gazali membagi tingkatan zuhud dari segi tingkatan motivasi yang mendorongnya kepada tiga tingkatan:  Zuhud yang didorong oleh rasa takut terhadap api neraka dan yang semacamnya. Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang pengecut.  Zuhud yang didorong oleh motif mencari kenikmatan hidup di akhirat. Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang yang berpengharapan, yang hubungannya dengan Allah diikat oleh ikatan pengharapan dan cinta, bukan ikatan takut.  Zuhud yang didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari memperhatikan apa saja selain Allah dalam rangka membersihkan diri daripadanya dan menganggap remeh terhadap apa yang selain Allah. Zuhud dalam tingkatan inilah yang merupakan sikap zuhud para arifin. c. Tawakal Tawakal dalam tasawuf diartikan berserah diri kepada kehendak Tuhan seperti halnya mayat di depan orang yang memandikannya. Tawakal dalam pengertian tasawuf adalah suatu syarat mutlak sebagai tangga memutuskan segala ikatan dengan dunia secara total dan final. Tanpa jiwa tawakal seperti itu, hati tidak akan terbebas dari belenggu. Menurut al-Gazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah sebagai pencipta. Dia berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih pada makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya dengan sepenuh hati. d. Ma’rifah Ma’rifah (gnosis) secara umum diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Sedangkan menurut tasawuf, ma’rifah berarti mengetahui Allah Swt dari dekat. Bagi al-Gazali, ma’rifah bukan hanya diartikan melihat Tuhan, tetapi juga mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Ma’rifah pada Allah bukan merupakan ilmu yang dapat ditangkap dengan panca indera dan akal pikiran, tetapi merupakan suatu pengalaman dan penghayatan yang bersifat langsung. Alat yang digunakan untuk mendapatkan ma’rifah adalah qalbu. Menurut al-Gazali, qalbu bagaikan cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jelasnya, jika cermin qalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Adapun penyebab qalbu tidak bening adalah hawa nafsu, maka untuk mendapatkan hati yang bening, seorang sufi harus berpaling dari hawa nafsu. Memperoleh ma’rifah merupakan proses yang bersifat terus menerus. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifah, makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia Tuhan dan semakin dekatlah ia kepada-Nya. Proses yang dilakukan oleh seorang sufi untuk memperoleh ma’rifah yaitu dengan cara riyadhah dan mujahadah dalam beribadah. Keterikatan am’rifah dengan amal (ibadah) inilah yang membedakan konsepsi ma’rifah al-Gazali dengan konsepsi ma’rifah Abu Yazid al-Bustami, yang menganggap ketekunan dalam ibadah sebagai pertanda tidak layaknya orang memperoleh ma’rifah dari Tuhan. Selanjutnya, al-Gazali menjelaskan bahwa ma’rifah ini menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan), dan mahabbah baginya bukan mahabbah sebagai yang diucapkan Rabi’ah al-Adawiyah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan dan lain-lain. Kadar mahabbadh seorang sufi ditentukan oleh kedalaman ma’rifah yang dimilikinya. Semakin kuat ma’rifahnya, semakin kuat mahabbahnya. Menurut al-Gazali ma’rifah dan mahabbah adalah derajat tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Sekilas Sejarah Tasawuf oleh Muhammad Ikhsan A. Pendahuluan Selama ini umat Islam cenderung memahami agama Islam secara sempit. Islam dipahami sebagai agama yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang hanya berkisar pada wilayah ibadah, muamalah, dan aqidah. Sehingga agama sering dipandang sebagai aturan-aturan yang bersifat ketat dan kaku dan cenderung terlihat sebagai kegiatan-kegiatan lahiriyah semata walaupun orientasinya mengarahkan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ada aspek yang banyak dibicarakan atau sekedar diketahui oleh banyak orang tentang Islam yang sangat mewarnai perjalanan sejarah Islam dari dulu hingga sekarang yang tidak henti-hentinya menjadi bahan kajian dan perdebatan baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat luas baik di perkotaan maupun di tingkat pedesaan. Aspek ini dikenal dengan istilah tasawuf atau sebagaimana yang dikenal para orientalis sebagai mistisme dalam Islam. Tasawuf adalah aspek bathiniyah yang merupakan upaya dalam mencari kecintaan dan kesempurnaan rohani. Para sufi berpandangan bahwa ketika ilmu fiqih mengatur umat Islam dalam beribadah dan bermu'amalah, maka kegiatan tersebut merupakan amalan yang bersifat dhahir, sedangkan ilmu tasawuf mengatur batin dan jiwa manusia yang berarti menguasai wilayah bathinyah dalam beragama. Perjalanan tasawuf dari masa ke masa tidak lepas dari pengaruh sejarah yang melekat di dalamnya sebagaimana perjalanan Islam dari masa kemunculan, masa keemasan dan masa kemunduran. Peran tasawuf sangat penting dalam kiprah sosio-politik nya terlebih peranan tarekat sebagai lembaga yang memiliki peran agama dan sekaligus politik dalam sejarah peradaban Islam. Begitu banyak persoalan umat Islam yang disandingkan dengan tasawuf. Masa kemunduran intelektual, era mistis yang begitu kental, dan ketertinggalan umat Islam sempat dialamatkan kepada tasawuf sejak mulai perbedaan terminologi hingga keaslian ajaran. Maka melalui sudut pandang historis, makalah ini berupaya mendeskripsikan asal usul tasawuf, kiprahnya dalam sosio-politik, keilmuan Islam, dari pertumbuhan hingga kemunculan tarekat sebagai wadah gerakan. B. Asal-Usul Tasawuf Dari sisi istilah, para ilmuwan Islam dan para orientalis sampai saat ini masih berdebat tentang asal-usul istilah Tasawuf. Ada pendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama dan tradisi sebelumnya, seperti terambil dari kata shuf, yaitu bulu kasar (wool). Pakaian ini merupakan karakteristik dari pendeta Kristen wilayah Timur. Ada kata Tasawuf juga yang mengatakan berasal dari kata Shafa yang berarti bersih, sebab tujuan kaum sufi adalah kebersihan bathin. Adapula yang mengambil dari kata Shufah yang terambil dari sebuah kamar di samping masjid Rasulullah di Madinah, yang disediakan untuk para sahabat-sahabat Nabi yang miskin tetapi kuat imannya, yang makan minumnya ditanggung oleh orang-orang yang mampu di Madinah. Mereka ini dinamakan ahl al-Shuffah. Kata tasawuf juga disandarkan pada kata Shaff , yaitu barisan shaf ketika sholat. Sebab yang kuat imannya dan murni kebathinannya itu biasanya ketika sholat memilih shaf pertama. Sedangkan Von Hamer menyatakan bahwa Tasawuf terambil dari bahasa Yunani, yaitu Theos dan shopos. Theos berarti Tuhan dan shopos berarti hikmah. Jadi Theoshofis berarti hikmah ketuhanan. Namun pendapat ini banyak dibantah, misalnya ketika kita merujuk pada pendapatnya Ibn Taimiyyah yang menerangkan bahwa istilah tasawuf itu telah digunakan oleh ulama fikih dan orang-orang sufi sebelum abad ketiga Hijriyah, Imam Ahmad ibn Hanbal, Abu Sulaiman al-Darani, dan juga diriwayatkan dari Abu Sofyan al-Tsaury, bahkan ada yang mengatakan Hasan Basri telah menggunakan istilah ini. Jadi, dengan demikian, kata tasawuf itu telah lumrah dipakai oleh orang-orang Arab sebelum ilmu pengetahuan Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kata Tasawuf memang sudah lumrah digunakan pada abad kedua Hijriyah walaupun sering disebut-sebut pada abad pertama Hijriyah. Orang yang mula-mula diberi gelar sebagai orang sufi adalah Abu Hasyim dari kota Kufah yang meninggal pada tahun 150 H atau 761 M. Akan tetapi orisinalitas ajaran Tasawuf banyak diperdebatkan. Beberapa kalangan menyatakan bahwa Tasawuf bersumber dari ajaran Persia atau Hindu atau Nasrani. Misalnya tentang Ma'rifat (Gnosis), yang merupakan sisa-sisa ajaran filsafat Yunani terutama aliran filsafat yang ada di kota Alexandria. Paham fana' yang merupakan ajaran Nirwana agama Hindu. Bahkan menurut Asywadie, paham Hulul dan Wihdat al-wujud berasal dari ajaran filsafat yang terdapat di sekitar daerah India dan Iran yang mistis. Akan tetapi, menurut hemat penulis, ajaran Tasawuf walaupun istilah ini tidak digunakan serta belum dikenal pada masa Nabi dan sahabat, namun telah dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabat serta para Tabi'in. Adapun pengaruh-pengaruh tersebut di atas muncul kemudian. C. Masa Awal (Abad I dan II H) Kehidupan sufi memang telah tercermin dari kehidupan Nabi saw. Kehidupan yang sederhana dan jauh dari kemewahan namun rohani yang senantiasa mengingat sang Khaliq. Perilaku zuhd dan penuh ketaqwaan dan kecintaan kepada Allah swt merupakan pedoman yang digunakan pula oleh para sahabat dalam mengikuti perjalanan rohani Nabi. Begitu pula lingkungan sekitar beliau yang dipenuhi para keluarga dan sahabat terbentuk komunitas yang saleh dan nilai rohani yang tinggi jauh dari keserakahan duniawi. Dari sinilah Nabi saw dan para sahabat menjadi prototype kehidupan sufi. Dari lingkungan kecil orang-orang saleh di sekeliling Nabi itu muncul suatu patokan yang dipakai oleh para Sufi : tiga sikap yakni Islam, Iman dan Ihsan. Al-Qur'an menyebut tentang Islam dan Iman, Islam berarti kepasrahan mutlak dan tunggal dari orang yang beriman kepada kehendak Tuhan dan penerimaannya yang sempurna atas perintah Tuhan seperti yang dikabarkan dalam al-Qur'an; sedang Iman merupakan segi kejiwaan dalam Islam. Dengan demikian, seorang muslim bukan selamanya mukmin, tetapi seorang mukmin pasti seorang muslim. Sedangkan tentang ihsan, menurut hadis oleh Nabi sendiri-ditambah pengertian "bahwa kamu menyembah Allah seakan-akan kau melihat-Nya," sebab meskipun manusia tidak melihat Allah, Allah senantiasa melihat manusia, dan al-Qur'an menekankan bahwa "rahmat menyertai mereka yang menjalankan ihsan (al-Muhsinun)" (7:5). Dengan penambahan unsur ketiga ini, dimulai proses "pembatinan" (interiorization) Islam yang sempurna; sebab seorang penganut harus merasakan bahwa setiap saat ia berada di hadapan Tuhan, bahwa ia harus berlaku penuh hormat dan puja serta tidak terjerumus lagi pada "lelap dalam kelalaian," tak pernah melupakan kehadiran ilahi yang merengkuh segalanya. Sejarah mencatat, pasca terbunuhnya Ali pada tahun 661 dan berdirinya dinasti Bani Umayyah, aliran-aliran yang berbeda-beda dalam masyarakat menjadi semakin mencolok. Ekspansi terus-menerus yang dilakukan kekaisaran muslim menyebabkan para Sufi merenungkan perbedaan antara ancaman akhirat yang tercantum dalam al-Qur'an dengan pentingnya mengembangkan wilayah kekuasaan Islam. Dinasti ini dituduh menghamba kepada dunia dan kurang beriman, bahkan para sufi sering menyamakan "pemerintah" dengan "kejahatan". Madinah, kota Nabi, merupakan suatu pusat kaum konservatif yang beriman, kelompok-kelompok lain tinggal di pemukiman-pemukiman Muslim yang baru di Irak, propinsi dimana kaumnya bersikap memusuhi Syria, yakni negeri tempat Umayyah mendirikan ibukotanya. Nama yang dikenal menentang sikap pemerintah ini dikenal sebagai imam para Sufi yaitu Hasan al-Basri (728 M). Ia adalah saksi penaklukan-penaklukan gemilang bangsa Arab tahun 711, ketika mereka berhasil menyeberangi selat Jibraltar, mencapai Sind, lembah Indus hilir, dan meletakkan dasar bagi pemerintahan muslim yang masih berlanjut di Pakistan hingga saat ini. Hasan al-Basri melihat fenomena ini sebuah keadaan yang membahayakan bagi masa depan Islam. Kaum muslim kehilangan ruh kebathinannya, mereka berlomba-lomba untuk mengejar kehidupan dunia dan melupakan tentang akhirat serta tidak takut pada ancaman-ancaman yang tercantum dalam al-Qur'an bagi mereka yang menghamba pada dunia. Hasan al-Basri adalah orang yang mula-mula membicarakan tentang ilmu-ilmu kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa. Pembicaraan ini dilakukan di masjid Basrah. Segala sesuatu tentang kerohanian diukurnya dari sunnah-sunnah Nabi. Dasar ajarannya dalah zuhd terhadap dunia, menolak kemegahan dunia semata-mata menuju Allah, bertawakkal kepada-Nya, Khauf (takut) dan Raja' (pengharapan). Menurutnya, antara rasa takut kepada kemurkaan Allah, tetapi ikutilah itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya tetapi mengharap karunianya. Konsep khauf dan Raja' ini kemudian ditingkatkan oleh Rabiah al-Adawiyah dengan zuhd karena cinta. Cinta yang telah suci murni itu lebih tinggi dibanding takut dan pengharapan. D. Masa Perkembangan Dan Pembentukan (abad III dan IV) Ketika memasuki abad ketiga dan keempat Hijriyah, ilmu tasawuf berkembang dan telah menunjukkan isinya yang dibagi menjadi tiga hal pokok. Ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan methapisika. Misalnya, konsep cinta yang semula dimunculkan oleh Rabi'ah al-Adawiyah ditambah oleh Ma'ruf al-Karkhi dengan thuma'ninah (ketenangan jiwa), sebagai hasil perolehan jiwa karena cinta. Sedangkan Haris al-Muhasibi menjelaskan bahwa cinta adalah anugerah Allah yang ditempatkan ke dalam hati orang yang mencintainya. Kalau cinta itu telah tumbuh, belum tercapai tujuannya sebelum bersatu (ittihad) antara yang mencintai dan yang dicintai. Kalau pada abad kedua Hijriyah Tasawuf hanya dikenal di kota Kufah dan Bashrah, maka pada permulaan abad ketiga, tasawuf telah berkembang keluar sampai ke kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan Bani Abbasiyah. Kemudian Tasawuf mengalir dari Baghdad menuju ke Persia kemudian Mesir, Syam dan Semenanjung Arabia. Adapun tokoh yang terkenal pada zaman ini diantaranya adalah Zunnun al-Mishri (860 M). Beliau adalah murid dari Imam Malik dan boleh dikatakan bahwa beliaulah yang pertama-tama menetapkan teori-teori dasar dalam ilmu Tasawuf seperti ma'rifat (Gnosis), stasiun-stasiun (maqamat), dan keadaan mental (ahwal). Kemudian ada Abu Yazid al-Bustami (877 M) yang melahirkan konsep hulul atau perpaduan antara hamba dan Tuhan serta munculnya istilah al-Sakr (mabuk). Sedangkan Junayd al-Baghdadi (910 M) beranggapan yang terpenting adalah "ketenangan hati" sebagai keadaan tertinggi sesudah sakr (mabuk) sebagai kondisi dimana sekali lagi orang menyadari dirinya berada dalam "hidup Tuhan", yakni segala sifatnya, yang sudah berubah wujud dan sepenuhnya bersifat rohani, dikembalikan kepadanya. Bukan fana' sebagai tujuan akhir melainkan Baqa', suatu kehidupan baru dalam Allah. Adapun sufi terbesar dalam sejarah adalah Mansyur al-Hallaj. Pada masanya lah puncak perkembangan tasawuf. Pandangannya telah menggegerkan dunia fikih. Ia sempat berguru dengan Junayd dan mengembara ke India, Khurasan, dan Turkistan, untuk menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Terdapat tiga pokok ajaran al-Hallaj, yakni hulul, al-Haqiqatul muhammadiyah (Nur Muhammad), dan wihdat al-Adyan. Dari kilasan sejarah di atas nampak bahwa ajaran tasawuf telah berkembang menjadi ajaran mistis dengan pengaruh dari agama dan tradisi-tradisi luar akibat dari meluasnya kekuasaan dan komunikasi Islam dengan dunia luar. Pada masa tersebut juga dimulainya kemunculan tarekat yang akan disinggung pada sub tersendiri. E. Masa Pertentangan Dan Konsolidasi (abad V H) Bibit-bibit pertentangan antara ulama fiqih dan tasawuf sebenarnya telah muncul pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Puncaknya adalah dengan dieksekusinya al-Hallaj yang berdampak sangat buruk terhadap keberadaan tasawuf. Hal ini diperparah ketika berkembang madzhab Syi'ah Ismailiyyah, yaitu madzhab yang ingin mengembalikan kekuasaan keturunan Ali ibn Abi Thalib ke atas singgasana khalifah, melalui ajaran-ajaran tertentu yang sangat dirahasiakan. Yang saat itu dikenal dengan Imam 12 serta tentang kemunculan imam mahdi. Propaganda tersembunyi ini ternyata berkolaborasi dengan kepercayaan kaum sufi tentang adanya waliullah. Kedekatan Syi'ah dengan sufi tentu saja memunculkan sikap-sikap dan gerakan anti sufi di sela-sela pertikaian sunni dan syi'ah. Disamping itu, abad kelima dikenal abad perkembangan filsafat dan masuknya filsafat pada ajaran tasawwuf yang melahirkan filsafat tasawuf yang merupakan perpaduan antara Neo-Platonisme dan dipihak lain dengan ajaran Persia dan India. Dalam kemelut yang berkepanjangan, tampil tokoh yang mecoba mendamaikan ini semua. Ia adalah Abu Hamid al-Ghazali (1111 M). beliau hidup di zaman Nizam al-Mulk seorang menteri besar kerajaan Bani Saljuk. Beliau banyak mengkritik para ulama ilmu kalam yang banyak mengambil cara-cara berpikir kaum filsafat untuk menguatkan dasar ilmu kalam. Menurutnya, filsafat tidaklah akan memperkokoh pendirian keTuhanan melainkan akan menggoyahkannya. Berbeloknya ketertarikan al-Ghazali merupakan sebuah fenomena tersendiri dalam menjawab semua keraguannya yang telah lama ada dalam dirinya. Kendatipun demikian, beliau banyak mengakui kesalahan para sufi sebelumnya. Namun kesalahan itu dapat diperbaiki asal saja dua perkara ini tidak boleh dipisahkan, yang pertama adalah ilmu dan yang kedua adalah amal. Karya terbesar al-Ghazali adalah 'Ihya ulum al-Din dimana beliau berupaya untuk mendamaikan antara yang dhahir dan yang bathin, antara fiqih dan tasawuf serta ilmu kalam. Hal ini kemudian banyak dijalankan oleh ulama kita sepeninggalan beliau. Yakni mulai terjadinya upaya-upaya pendekatan antara para fukaha dan sufi, antara ahl al-Syari'ah dan ahl al-Haqiqah, antara syariat dan tasawuf. fenomena pendekatan ini melahirkan Neo-sufisme. Sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, Istilah ini diciptakan oleh Falzur Rahman. Neo-sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Tasawuf model ini menekankan dan memperbaharui faktor-faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf popular yang menyimpang (unorthodox Sufism), pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat muslim. F. Masa sinkretisme dan kemunduran (abad VI –VIII H) Sejarah mencatat, kegigihan al-Ghazali dalam menahan deras arus filsafat yang masuk ke dalam tasawuf tidak berlangsung lama. Sepeninggal beliau, pada abad keenam, datang aliran baru yatiu sinkretisme (perpaduan) antara ajaran tasawuf dengan filsafat. Ajaran ini merupakan kelanjutan upaya penyelelidikan cara filosofis dalam membuka hijab yang membatasi antara kehidupan lahir dan kehidupan bathin, mencari apa rahasia yang tersembunyi dibalik layar itu. Ajaran tasawuf pada abad dan ketujuh ini lebih diperkuat pada latihan (riyadhah) dan perjuangan bathin (mujahadah) melalui ibadah dan dzikir. Kemudian muncul istilah-istilah kasyaf, tajalli, wihdat al muthlaqah, hulul dan ittihad. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Ibn Arabi yang telah menegakkan ajaran tasawuf berdasarkan renungan filosofis dan perasaan tasawuf sehingga membentuk suatu aliran tasawuf baru dengan ajaran wihdatul wujudnya. Munculnya ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ibnu Arabi menyulut kembali pertentangan lama. Diantara yang menentangnya secara tidak langsung adalah Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ibn Khaldun, Ibn Hajar al-Asqalani dan Ibrahim al-Biqa'i. Kemunduran sufi nampak pada potret kehidupan sufi di Persia. Walaupun di dalamnya lahir tokoh besar sufi seperti Abu Said (1049 M) dan Jalaluddin Rumi (1273 M), yang menganut madzhab wihdat al-wujud, namun peristiwa bersejarah yaitu naiknya kerajaan Shafawi di Persia pada tahun 1502 M dengan raja Syah Ismail membuat nasib tasawuf di Persia semakin memburuk. Syah Ismail menyatakan madzhab Syi'ah sebagai madzhab Negara dan sangat membenci tasawuf dan orang-orang ahl sunnah. Para sufi dikejar-kejar dan dibunuh. Sejak itu tidak banyak dikenal orang lagi ulama tasawuf Persia, hanya ada seorang yang dikenal dengan nama Hafiz Syirazi. Tasawuf terpaksa pindah dan berkembang di India. Tokohnya adalah Syah Waliullah Dahlawi dan Majdudi Alf al-Tsani. Peristiwa jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol berimplikasi besar pada dunia Islam yang bergulir terus hingga berpindahnya kekuasaan dari Asia kecil ke tangan Turki Utsmani membuat umat Islam pada umumnya mengembangkan sikap taqlid. Dari kalangan sufi timbul kegiatan membesar-besarkan kubur para wali, dan campur aduknya tasawuf dengan paham-paham yang lain membuat tasawauf masa ini semakin jauh dari ajaran Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan sebelumnya menggugah Ibn Taimiyyah dan muridnya untuk bangkit menentang ajaran wihdat al-wujud, hulul, dan ittihad sehingga lahir buku kecil yang khusus menentang Ibn Arabi yang bernama "Al-Rad 'Ala Ibn 'Arabi". Usaha kedua menjadi inspirasi bagi Syekh Abdul Wahab pada abad keduabelas Hijriyah untuk meneguhkan kembali paham sunnah di tanah Arab berdasarkan madzhab Hambali. Paham ini dikenal dengan paham Wahabi yang dilanjutkan oleh Raja-raja keturunan Ibn Su'ud. G. Tarekat dan Perkembangannya Sebagaimana yang tergambar sebelumnya, bahwa tarekat mulai muncul pada abad ketiga Hijriyah. Pada awalnya tarekat merupakan gerakan individual yang dipraktekkan oleh para sufi. Untuk mencapai atau mendekatkan diri kepada Tuhan, maka para sufi mengikuti tarekat yang berarti olah bathin, latihan-latihan, dan bermujahadah di bidang kerohanian. Kegiatan yang bersifat individual tersebut kemudian pada masanya al-Hallaj mulai diajarkan kepada orang lain yang kemudian juga dipraktekkan oleh para sufi besar lainnya. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam kumpulan-kumpulan sufi yang memiliki sufi tertentu sebagai syekhnya dengan tarekat tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau murid-murid. Pengajaran yang bersifat kolektif ini menggambarkan sebuah hubungan antara guru (mursyid) dan murid sebagai hubungan yang nantinya akan menjadi sandaran bagi munculnya gerakan tarekat yang sistematis dalam bentuk organisasi maupun jaringan. Pada abad ketiga Hijiryah, gerakan tarekat lebih cenderung terbagi menjadi dua jaringan. Yang pertama aliran Iraqi, yakni aliran yang berkebalikan dengan aliran kedua yaitu aliran Khurasani yang berlandaskan ajaran Abu Yazid al-Bustami dengan ciri ekstase dan sakr. Dalam perjalannya aliran Iraqi dengan ajaran dari Junayd al-baghdadi nampaknya dapat diterima secara luas karena kesesuaiannya dengan ortodoksi Islam. Sejak permulaan abad ketiga belas, beberapa pusat dari daerah tertentu menjadi bibit-bibit tarekat, aliran-aliran mistik atau pusat pengajaran. Hal ini terjadi apabila suatu pusat atau jama'ah terpusat pada seorang pembimbing (mursyid) dalam suatu cara yang baru dan beralih menjadi suatu aliran yang didesain untuk melestarikan namanya, jenis pengajarannya, latihan-latihan mistik, dan aturan kehidupannya. Setiap tarekat ini diturunkan melalui mata rantai yang berkesinambungan atau isnad mistikal. . Spencer Trimingham membagi kawasan tarekat menjadi tiga kawasan utama. Yang pertama adalah kawasan Mesopotamia yang meliputi Baghdad, Syiria, hingga Mesir. Alur utamanya mengikuti Junayd al-Baghdadi, Ma'ruf al-Karkhi dan Sari al-Shaghati. Tarekat yang utama di daerah ini adalah Sughrawardiyah, Rifa'iyah, dan Qadiriyah. Yang kedua adalah kawasan Mesir dan Mghribi dengan tarekat Syadziliyahnya. Yang ketiga kawasan Iraqi dan Khurasani yang berkaitan dengan ajaran dari Junayd al-Baghdadi dan Abu Yazid al-Busthami. Dalam pandangan Fazlur Rahman, fenomena tarekat menjadi jaringan yang luas tidak semata-mata disebabkan oleh faktor agama saja melainkan juga dipengaruhi oleh faktor sosio-politiknya. Sufisme menurutnya menawarkan suatu pola kehidupan sosial yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ditengah cengkeraman otoritas Negara. Pada masa kesatuan politik Islam mulai runtuh, organisasi-organisasi sufi memberikan tempat perlindungan bagi rakyat yang merasa tidak aman dari sultan-sultan yang zalim. Dengan bentuknya yang telah terorganisir, tarekat sebagai gerakan sufisme berfungsi sebagai bentuk protes terhadap tirani politik. Di Turki misalnya, gerakan sufi telah memiliki andil dalam pemberontakan menentang Negara dari abad 7 H/13 M hingg abad 11 M/17 M. Di Afrika, berbagai macam ordo sufi terus menerus melakukan perlawan militer terhadap kekuatan-kekuatan Kolonial Eropa.Begitu pula gerakan sufi melawan ulama bukan semata-mata karena alasan agama melainkan kaum ulama terikat hubungan intim dengan penguasa. H. Penutup Tasawuf adalah fenomena yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari Islam. Menurut kalangan orientalis, tanpa tasawuf maka Islam tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa sisi bathin dalam ajaran Islam memiliki peran yang sangat substansial sebagai aspek bathiniyah dalam menyokong kegiatan lahiriyah Islam. Istilah Tasawuf sendiri pada dasarnya telah dipergunakan pada abad kedua hijriyah. Sedangkan orisinalitas ajarannya banyak diperdebatkan. Hal ini disebabkan oleh pertemuan umat Islam dengan berbagai budaya sehingga unsur-unsur mistis dan paham-paham filsafat berbaur ke dalam ajarannya. Sehingga ajaran tasawuf yang awanya sederhana, terbagi menjadi beberapa pokok seperti ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan metaphisik. Tasawuf sempat terseret dalam arus perebutan kekuasaan sehingga nuansa perebutan politik sempat mengancam keberadaan dan kelangsungan ajarannya. Begitu pula pertempuran antara fiqih dan filsafat menjadikan tasawuf semakin tidak menentu. Tokoh yang berupaya mendamaikan ketiganya adalah al-Ghazali, walaupun, pasca beliau tasawuf yang bernuansa filsafat kembali marak dengan tokohnya Ibn Arabi. Akan tetapi, masa gelap tasawuf masih berlangsung sehingga mengkhawatirkan kalangan ulama lain sehingga ada upaya pembersihan tasawuf dari dunia Arab dengan gerakan wahabinya. Tarekat yang pada mulanya sebagai gerakan indivu kamu sufi, kini telah menjadi gerakan kolektif dengan lembaga-lembaga yang besar. Tarekat bukan hanya menjadi wadah untuk melakukan aktivitas spiritual, melainkan telah menjadi bagian aktivitas sosial politik yang memiliki pengaruh besar dalam berkiprah di setiap komunitas sosial. from:wacanaislam.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar